Istrimilik suami. Dan suami itu milik ibunya Peringatan untuk diri saya sendiri Dan untk ank lelaki yg masih punya ibu 櫓 Hadist Istri Milik Suami Suami Milik Ibunya. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang suami harus mendahulukan ibunya, Dalam islam, kewajiban suami tidak hanya berkaitan dengan nafkah makan, pakaian, tempat tinggal, sebagaimana yang disangka oleh sebagian. Ibu atau Istri, Mana Yang Harus Didahulukan? Nur Yaqin Amin from Web istri milik suaminya tapi harta istri bukan harta suami, begitupun suami milik ibunya tapi harta suami bukan harta ibunya, karna milik itu artinya taat dan patuh,. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang suami harus mendahulukan ibunya, apa. Web pernyataan “uang suami adalah milik istri” atau “uang istri adalah uang suami” apakah benar? Oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Msc. Web tirmidzi, ibnu majah, dan ahmad. Laki2 yg baik dia bisa jd anak laki2 yg baik bt ibunya, jd suami yg baik bt istrinya, menyayangi. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang suami harus mendahulukan ibunya, apa. Tentang Uang Suami Milik Istri. Ga ada satupun hadits yg menyatakan hal bahwa si istri setelah menikah kemudian lepas lah seluruh kewajiban. Dan ternyata di balik lelaki yang perkasa ada ibu yang luar. Web suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Setiap Orang Yang Menceraikan Isterinya Kecuali Karena Zinah, Ia Menjadikan Isterinya Berzinah;. Web istri yang taat suami dijamin surga. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang suami harus mendahulukan ibunya, apa. Ibu saya konsultasi ke ustadz tempat beliau mengaji dan didapatlah kesimpulan bahwa ibu. Dan Suami Itu Milik Ibunya Peringatan Untuk Diri Saya Sendiri Dan Untk Ank Lelaki Yg Masih Punya Ibu 櫓 Ada tiga orang yang allah tidak tenerima. Web dengan demikian, kalau dikatakan bahwa semua uang suami adalah milik istri justru merampas hak suami atas kepemilikan uangnya. Web suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Ternyata Hadis Ini Tidak Mutlak Pelarangan Pada Istri Untuk Keluar Tanpa Izin,. Web qs 4 Karena itu, suami bisa mendapat warisan dari harta istri, sebaliknya istri juga mendapat warisan dari harta. Enceritakan kepada kami muhammad bin fudlail dari abu nashr abdullah bin abdurrahman dari musawir al himyari dari ia berkata. 2 Harta keluarga tanggung jawab istri. Apabila harta yang dinafkahkan adalah harta tanggung jawab istri seperti uang bulanan yang seharusnya digunakan untuk keperluan rumah tangga, maka istri harus meminta izin kepada suami. Uang rumah tangga bulanan adalah harta suami. Seperti pada hadis, diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin 'Amru Assalamu alaikum wr. wb. Redaksi NU Online, di tengah masyarakat berkembang istilah “uang suami milik istri dan uang istri milik istri.” Pertanyaan saya adalah bagaimana Islam mengatur hak kepemilikan suami dan istri. Ini cukup penting untuk mendudukkan persoalan secara jelas. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb. Ahmad/Tangerang Jawaban Assalamu alaikum wr. wb. Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebelum sampai ke sana, di awal kami menyinggung terlebih dahulu situasi perihal kedudukan perempuan pada saat Al-Qur’an diturunkan. Pada saat Islam datang, peradaban manusia terkait kedudukan perempuan terbilang masih rendah. Perempuan selamanya berada dalam “perbudakan.” Selagi kecil, ia berada di bawah belenggu ayahnya. Setelah menikah, belenggu perempuan berpindah tangan kepada suaminya. Sebagai entitas di bawah kuasa orang lain, perempuan saat itu tidak memiliki hak atas harta, bahkan atas hidupnya sendiri. Tidak heran kalau Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 menyinggung anak perempuan yang dikubur hidup-hidup. Al-Qur’an mempertanyakan dosa apa yang dilakukan anak perempuan sehingga layak dibunuh hidup-hidup. Adapun Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 berbunyi sebagai berikut وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَت بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَت Artinya, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” Oleh karena itu, Islam kemudian datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan yang menjadi sistem sosial saat itu. Islam mengembalikan atau memulihkan kepribadian perempuan yang disia-siakan. Islam memberikan hak kepada perempuan secara sempurna dalam relasinya dengan masyarakat dan keluarga. Hal ini disebutkan oleh Imam M Abu Zahrah dalam Ushulul Fiqih-nya ketika membahas sisi kemukjizatan Al-Qur’an. وأعطى الإسلام المرأة حقوقها كاملة وجعل ماليتها في الأسرة مفصولة عن مالية الزوج Artinya, “Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga,” Imam M Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr Arabi 2012 M/1433 H], halaman 85. Dari semangat Al-Qur’an dalam pemulihan hak-hak perempuan ini, ulama fiqih kemudian memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal ini sebagai istri. Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah; dan berhak diperlakukan secara manusiawi. للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل Artinya, “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VII, halaman 327. Dengan demikian, perempuan memiliki kedaulatan atas kepemilikan harta. Kedaulatan perempuan atas kepemilikan harta ini tertuang jelas dalam perintah Al-Qur'an pada Surat An-Nisa’ ayat 4 perihal kewajiban pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya. وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا Artinya, “Berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” Surat An-Nisa’ ayat 4. Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan. Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah. Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta. Lalu bagaimana dengan pernyataan “uang suami milik istri dan uang istri milik istri?” Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Kalimat tersebut mengandung dua pernyataan yang perlu diuji satu per satu. Pertama, pernyataan, “uang suami adalah milik istri.” Uang suami mungkin saja milik istri dan mungkin juga bukan milik istri. Uang suami yang menjadi milik istri adalah hak nafkah yang seharusnya diterima oleh istri. Tetapi uang suami mungkin juga bukan milik istri, yaitu uang suami di luar keperluan nafkah istri dan anak. Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa semua uang suami adalah milik istri justru merampas hak suami atas kepemilikan uangnya. Adapun pernyataan kedua, “uang istri milik istri,” adalah benar adanya sebagaimana dijamin oleh Islam terkait hak perempuan atas kepemilikan harta. Penjelasan ini tampak sangat teknis dan domestik sekali. Tetapi hak-hak suami dan istri ini perlu dibicarakan sehingga jelas kedudukan masing-masing pihak atas kepemilikannya. Namun demikian pada praktiknya secara umum, suami dan istri mengelola memberikan pertimbangan setidaknya secara bersama uang yang mereka miliki dan satu sama lain dapat saling membantu dalam mengatasi keuangan satu sama lain seperti dinyatakan dalam Surat An-Nisa’ ayat 4. Demikian jawaban singkat kami, semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb. Penulis Alhafiz Kurniawan Editor Muchlishon SuamiPrioritaskan Ibunya atau Istri?, Ini Penjelasan dalam Alquran dan Hadist Mei 23, 2021 632 Jakarta - Seorang suami memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar, di antaranya adalah peranan dan tanggung jawabnya kepada istrinya. Karena seorang istri sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab suami. Jakarta – Seorang suami memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar, di antaranya adalah peranan dan tanggung jawabnya kepada istrinya. Karena seorang istri sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab suami. Namun demikian, seorang suami juga tetap berkewajiban untuk menafkahi orangtuanya. Karena orangtua adalah tanggung jawab anak laki-laki suami. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw., “Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita? Rasulullah menjawab “Suaminya” apabila sudah menikah. Kemudian Aisyah Radhiyallahu anha bertanya lagi “Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki? Rasulullah menjawab “Ibunya,” HR. Muslim. Dari hadist tersebut jelas bahwa ibu adalah tanggung jawab anak laki-laki suami. Namun yang terjadi sekarang umumnya berbeda. Seorang suami sepenuhnya dimiliki oleh istri. Padahal masih ada orangtuanya yang wajib ia nafkahi. Lantas, siapakah yang lebih diprioritaskan oleh seorang suami, apakah bakti suami sebagai anak terhadap ibunya ataukah kewajiban suami terhadap istrinya? Ibu ataukah istri yang harus didahulukan suami? Ini merupakan persoalan yang sangat sulit bagi laki-laki. Dari Abu Hurairah radliallahu anhu dia berkata; “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sambil berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” beliau menjawab “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dia menjawab “Kemudian ayahmu.” [HR. Bukhari dan Muslim Maka jika Anda seorang istri dari suami yang seperti itu, hendaknya dukung dengan baik agar suaminya senantiasa melakukan berbagai ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Berbakti kepada orang tua atau birrul wâlidain terutama kepada ibunya dan menyambung tali silaturahmi dengan baik pada orang tua setelah menikah merupakan suatu ketaatan kepada Allah yang amat baik. Dari hadis tersebut, telah disebutkan bahwa yang berhak terhadap seorang laki-laki adalah ibunya. Namun bukan berarti seorang suami bebas menelantarkan istri demi seorang ibu. Itu salah, karena Ibu dan istri memiliki kedudukan yang sama pentingnya dalam islam, kedua-duanya harus diutamakan dan dimuliakan. Tapi yang harus diingat bahwa seorang ibu yang shaleh akan melahirkan anak yang shalih hingga tumbuh jadi suami yang shalih pula. Sedangkan istri yang shalih akan menjadikan rumah tangga suaminya penuh dengan cinta dan kasih sayang, membantu suami dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan memenuhi kewajiban suaminya karena seorang wanita adalah milik suaminya dan seorang laki-laki adalah milik ibunya. Seorang istri tidak perlu cemburu kepada orang tua suaminya mertua, karena dia yang telah melahirkan suaminya. Seorang Istri yang shalihah tidak akan menghalangi bakti suami kepada orangtuanya. Karena berbakti kepada orangtua adalah kewajiban besar yang diperintahkan Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Isra’ ayat 23 “Dan Tuhanmu telah memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” kepada keduanya. dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia,” QS. Al-Isra’ 23. Dari ayat tersebut jelas perintah Allah untuk berbakti kepada orangtua. Jadi seorang istri harusnya menyadari akan kewajiban suaminya untuk berbuat baik dan berterima kasih kepada kedua orangtuanya. Dengan menolong suami berbuat kebaikan maka Allah akan menolong seorang istri dengan menumbuhkan cinta kasih yang mendalam di hati suaminya. Dan suami pun akan bangga mempunyai istri yang selalu mendorongnya untuk berbuat kebaikan dan menyayanginya dengan penuh kasih sayang, serta menyayangi dan menghormati kedua orangtuanya. Sejatinya, jika seorang istri berbuat baik kepada mertua, menganggap mereka sebagai orangtuanya sendiri, maka mertua pun akan baik dengannya. Maka dari itu, seorang istri haruslah patuh dan taat kepada suaminya, karena mereka adalah imam baginya. Demikian pula dengan seorang suami, sudah semestinya menyayangi dan memuliakan istrinya. Seperti hadits berikut,”Seandainya aku dibolehkan memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” HR. Muslim Seorang suami harus ingat bahwa istri dan orangtuanya memiliki kedudukan yang mulia. Dengan istrinya pulalah seorang suami nantinya akan melahirkan keturunan baginya. hmz/dbs/foto muslimobsession/muslimfamily/gomuslim Jikapara istri mengeluhkan suami mereka yang diam, maka para suami mengeluhkan istri mereka banyak bicara. Kami juga menyadari hal ini. "Ada sebuah hadits Nabi yang disebutkan dalam Shahih Muslim. Dengarkanlah hadits ini dengan hatimu karena hadits ini panjang dan sangat berharga." tidak menyamai perabotan terkecilpun milik Abu Zar Suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang Suami harus mendahulukan ibunya, apa maksudnya ? Setiap orang pasti mengharapkan dan mencintai kehidupan yang damai dalam rumah tangga. Kedamaian dan keharmonisan itu ditunjang oleh berbagai hal, terutama bagaimana cara suami dan isteri berbakti kepada kedua orang tua mereka. Karena bagaimana pun orang tua adalah orang yang menjadi sebab kedua mempelai hadir di dunia ini dan dipertemukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ikatan Lainnya Tidur Berkualitas Ala Rasullullah0Pemkot Palembang Ajak IPNU Bersinergi0Program Palembang Emas Darussalam Jadi Role Model Nasional0Pemkot Palembang Sosialisasikan Bantuan Hibah Keagamaan0Peringatan Maulid Nabi Guna Mempererat Silaturrahmi0 Namun, ada sebuah hadits yang seringakali menimbulkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan itu. Hadits itu seperti “mengesampingkan” orang tua dari mempelai wanita, karena secara “tekstual” hadits itu seolah memberi arti bahwa “Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya”. Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Siapakah yang paling berhak atas wanita isteri? Rasulullah menjawab, “Suaminya” Lalu aku bertanya lagi, “Siapa yang paling berhak atas laki laki berarti konteks di sini suaminya? Rasulullah menjawab, “Ibunya”. Lalu kita memahaminya, “Isteri harus mendahulukan suami, dan suami harus mendahulukan ibunya”. Banyak di antara kita memahaminya seperti itu. Terutama yang “ngajinya” di media sosial. Kalau begitu, kasihan sekali ibu dari si isteri. Karena “Tidak punya apa apa lagi”. Anaknya udah jadi isteri, harus berbakti pada suaminya, sedang suaminya harus berbakti pada ibunya. Lebih kasihan lagi kalau si ibu punya anak 3 perempuan semua. Pasti dia sangat sedih jika anaknya menikah,,, Di mana kita salah pahamnya? Pada memahami kata “ibunya”. Siapa “ibu” bagi orang yang sudah menikah? Ibu bagi orang yang sudah menikah adalah 1. Ibu yang melahirkannya ibu kandung dan 2. Ibu yang melahirkan pasangannya suami/ isterinya alias ibu mertua Jadi maksud dari hadits itu adalah Berbakti pada orang tua tidak lepas, meski sudah menikah. Isteri jadi partner bagi suaminya jadi satu tim, untuk berbakti pada orang tua orang tua si isteri maupun suaminya, alias mertua masing masing. Jangan sampe isteri berbuat sesuatu perhatian pada ibu kandungnya tanpa sepengatuan suami, dan sebaliknya. Tapi jadi satu tim yang kompak berbakti pada orang tua. Berbakti ini merupakan “wajah hakiki dari suami isteri”. Suami harus menjadi pemimpin yang adil. Sehingga semua mendapatkan perhatian yang semestinya diberikan. Tidak ada perbedaan dari pihak orang tua sendiri atau mertua. Semuanya diberikan dengan cara bermusyawarah dengan isteri. Maka ketika pernikahan, ibu dari penganten perempuan akan bahagia. Karena sekarang dia punya anak 2 anaknya dan menantunya. Dulu, kalau mau angkut angkut pasir, susah, karena anaknya perempuan. Sekarang tidak lagi. Karena punya anak laki laki. Ibu dari mempelai laki laki juga demikian. Sekarang punya anak 2. Dulu, kalau berurusan dengan “bedak dan saudara saudaranya” repot, karena anaknya laki laki. Sekarang tidak lagi. Ia punya anak menantu perempuan untuk menemaninya berekspresi. Indra
Lebihlanjut Syekh 'Athiyah Shaqr menegaskan, "Jika suami memiliki anak dari istri yang diceraikan dan istri yang mengasuhnya, maka suami menyediakan nafkah terhadap anaknya, baik anak-anak tersebut bersamanya ataupun tidak." (Maushuat al-Usrah, 6/353). Sebagaimana dijelaskan regulasi terkait, "Dalam hal terjadinya perceraian
Suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang Suami harus mendahulukan ibunya, apa maksudnya ? Bismillahir rahmaanir rahiim Setiap orang pasti mengharapkan dan mencintai kehidupan yang damai dalam rumah tangga. Kedamaian dan keharmonisan itu ditunjang oleh berbagai hal, terutama bagaimana cara suami dan isteri berbakti kepada kedua orang tua mereka. Karena bagaimana pun orang tua adalah orang yang menjadi sebab kedua mempelai hadir di dunia ini dan dipertemukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ikatan pernikahan. Namun, ada sebuah hadits yang seringakali menimbulkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan itu. Hadits itu seperti “mengesampingkan” orang tua dari mempelai wanita, karena secara “tekstual” hadits itu seolah memberi arti bahwa “Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya”. Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Siapakah yang paling berhak atas wanita isteri? Rasulullah menjawab, “Suaminya” Lalu aku bertanya lagi, “Siapa yang paling berhak atas laki laki berarti konteks di sini suaminya? Rasulullah menjawab, “Ibunya”. Lalu kita memahaminya, “Isteri harus mendahulukan suami, dan suami harus mendahulukan ibunya”. Banyak di antara kita memahaminya seperti itu. Terutama yang “ngajinya” di media sosial. Kalau begitu, kasihan sekali ibu dari si isteri. Karena “Tidak punya apa apa lagi”. Anaknya dah jadi isteri, harus mbakti suaminya, sedang suaminya harus mbakti ibunya. Lebih kasihan lagi kalau si ibu punya anak 3 perempuan semua. Pasti dia sangat sedih jika anaknya menikah,,, Di mana kita salah pahamnya? Pada memahami kata “ibunya”. Siapa “ibu” bagi orang yang sudah menikah? Ibu bagi orang yang sudah menikah adalah 1. Ibu yang melahirkannya ibu kandung dan 2. Ibu yang melahirkan pasangannya suami/ isterinya alias ibu mertua Jadi maksud dari hadits itu adalah 1. Berbakti pada orang tua tidak lepas, meski sudah menikah. 2. Isteri jadi partner bagi suaminya jadi satu tim, untuk berbakti pada orang tua orang tua si isteri maupun suaminya, alias mertua masing masing. Jangan sampe isteri berbuat sesuatu perhatian pada ibu kandungnya tanpa sepengatuan suami, dan sebaliknya. Tapi jadi satu tim yang kompak berbakti pada orang tua. Berbakti ini merupakan “wajah hakiki dari suami isteri, lebih jelas baca di 3. Suami harus menjadi pemimpin yang adil. Sehingga semua mendapatkan perhatian yang semestinya diberikan. Tidak ada perbedaandari fihak orang tua sendiri atau mertua. Semuanya diberikan dengan cara bermusyawarah dengan isteri. Maka ketika pernikahan, ibu dari penganten perempuan akan bahagia. Karena sekarang dia punya anak 2 anaknya dan menantunya. Dulu, kalau mau angkut angkut pasir, susah, karena anaknya perempuan. Sekarang tidak lagi. Karena punya anak laki laki. Ibu dari mempelai laki laki juga demikian. Sekarang punya anak 2. Dulu, kalau berurusan dengan “bedak dan saudara saudaranya” repot, karen anaknya laki laki. Sekarang tidak lagi. Ia punya anak menantu perempuan untuk menemaninya berekspresi. Amalan mendapatkan jodoh terbaik baca di Download do’a kehamilan untuk HP di Wallahu A’lam Alhamdulillaahi robbil alamin Kertanegara, Senin Legi, 25 Februari 2019 M / 20 Jumadil Akhir 1440 H repost Wawan Setiawan
Tetapijika setelah dinikahkan muncul suami pertama, maka nikah yang kedua dinyatakan batal karena statusnya masih menjadi istri dari suami pertama. [1] Jika pernikahan dilaksanakan dengan menyangka suaminya telah meninggal, kemudian ternyata benar dan waktu pernikahannya melewati masa iddah wafat (4 bulan 10 hari), maka dinyatakan sah.
TANYA Ustadz, apakah benar jika harta suami itu milik istri, sementara harta istri miliknya sendiri? Mohon penjelasannya. Jawab Bismillah was shalatu was salamu ala Rasulillah, wa ba’du, dikutip dari Konsultasi Syariah. Islam menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu diperoleh dengan jalan halal. Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Seperti yang Allah ungkapkan terkait aturan pembagian warisan. Karena itu, suami bisa mendapat warisan dari harta istri, sebaliknya istri juga mendapat warisan dari harta suami. Allah Ta’ala berfirman, وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ “Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat dan sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. QS. An Nisa 12 Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Sehingga ketika meninggal, ada yang diwariskan untuk keluarganya. Si suami baru berhak menguasai harta istrinya sebagai warisan, setelah istrinya meninggal. Itupun dalam jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Demikian pula istri. Dia berhak mendapat bagian warisan dari harta suaminya, dengan jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Adanya saling mewarisi antara suami dan istri, menunjukkan bahwa apa yang dimiliki suami tidak otomatis menjadi milik istri dan sebaliknya. Masing-masing memiliki hak atas harta yang mereka miliki. Jika semu harta yang masuk ke dalam rumah menjadi milik bersama, tentu tidak ada aturan masalah warisan. Lalu apa hak istri? Jika istri tidak bekerja, lalu apa hak istri untuk mencukupi kebutuhan? Istri punya hak untuk mendapatkan nafkah dari suami. Nafkah dengan nilai yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun suami tidak berkewajiban memberi lebih dari nafkah. Allah berfirman, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ Lelaki itu menjadi pemimpin bagi para istrinya, disebabkan Allah memberikan kelebihan bagi mereka dan karena mereka memberikan nafkah kepada istrinya dari harta mereka. QS. an-Nisa 34 Boleh saja suami menyerahkan seluruh uang penghasilannya kepada istri untuk dikelola demi mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, perlu diingat bahwa harta tersebut adalah tetap dalam hitungan kepemilikan suami. Istri hanya sekedar pengelola. Oleh karena itu, istri harus berusaha maksimal dalam memegang amanah, tidak boleh dipergunakan di luar batas kebutuhan kecuali atas izin dari suaminya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan keberadaan istri sebagai pengemban amanah di rumah suaminya, كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، … ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا Kalian semua adalah penanggung dan akan ditanya tentang apa yang dia pertaggung jawabkan… wanita menjadi penanggung jawab di rumah suaminya, dan dia akan ditanya tentang apa yang dia pertanggung jawabkan…HR. Bukhari 2409 Ketika istri menjadi ratu di rumah suaminya, dia bertanggung jawab untuk menjaga harta suami yang ada di rumahnya. Terutama ketika suami sedang pergi. Meskipun harta itu di luar kepemilikan istri. Allah berfirman menyebutkan ciri wanita sholihah, فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ Wanita shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, untuk sesuatu yang dipelihara oleh Allah. QS. an-Nisa 34 Ibnu Katsir menyebutkan keterangan ahli tafsir, Imam as-Sudi, dia menjaga dirinya, kehormatannya dan harta suaminya, ketika suaminya tidak ada di rumah. Tafsir Ibnu Katsir, 2/293. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا Sebaik-baik istri adalah wanita yang jika suaminya melihatnya, menyenangkan suaminya, jika diperintahkan suaminya, dia mentaatinya, dan jika suaminya jauh darinya, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartanya. HR. Thayalisi 2444 dan al-Bazzar 8537. Demikian, wallahu a’lam. [] Kesalahankedua : anda bepergian tidak dengan mahram. Adapun keluar rumah tanpa izin suami termasuk yang diharamkan, bahkan Allah -ta'ala- melarang wanita yang dicerai suaminya dengan talak raj'i (talak yang masih bisa rujuk) agar tidak keluar rumahnya, bagaimana jika seorang istri yang dicerai saja belum. Allah -subhanahu wa ta'ala Orangtua & Mertua Statusnya Sama Istri Milik Suami, Suami Milik Ibunya Bukan Hadits Nabi Oleh Al-Ustadz H. Miftahul Chair, MA Genre Fikih & Hadits Jemaah dari tanah Jawa kabupaten Kudus bertanya, "Ustadz apakah istri milik suami dan suami milik ibunya hadits Nabi, mohon penjelasannya ustadz? Saya Jawab Iya saya pernah mendengar istilah istri milik suami dan suami milik ibunya. Tapi sejatinya itu bukanlah hadits namun kesimpulan yang terjadi di dunia maya terhadap sebuah hadits dan kesimpulan itu salah kaprah dan bisa berakibat fatal terhadap pemahaman suami. Ini yang perlu diluruskan agar jangan sedikit-sedikit kata populer disandarkan ke Rasulullah Saw, ini merupakan dosa besar karena berdusta atas nama Rasulullah Saw. Kalimat istri milik suami, suami milik ibunya terinspirasi dari sebuah hadits yang jauh dari makna hadits itu sendiri. Adapun hadits yang terlihat seolah-olah kedudukan suami mendominasi istrinya yang harus taat dan peduli kepada ibu kandung suami saja sebagai berikut عن عَائِشَةَ ، قَالَتْ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ " زَوْجُهَا " ، قُلْتُ فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ ؟ قَالَ " أُمُّهُ " Maknanya "Dari Asiyah “Aku bertanya kepada Rasulullah saw” “Siapa yang memiliki hak paling besar terhadap wanita?” Rasulullah saw, berkata “Suaminya”. Aku berkata “Maka siapa yang paling berhak atas laki-laki?” Rasulullah saw, berkata “ibunya". HR. Hakim, Bazzar dan Thabrani. Gara-gara salah memahami hadits ini ada seorang suami yang antipati dan tidak peduli lagi kepada mertuanya, sehingga ia tidak berbakti kepada kedua mertuanya fokus dengan orangtuanya saja dan pada akhirnya sering memicu keretakan rumah tangga. Padahal tidak demikian. Jadi point yang didapat dari hadits di atas, 1. Hadits tersebut adalah hadits bermasalah artinya diperselisihkan kualitasnya sebab ahli hadits seperti Imam Al-Mundziri menyatakan hadits tersebut hasan dan Imam Hakim menyatakan shahih dengan syarat muslim. Sedangkan Imam Abi Hatim dalam kitabnya Al-Jarh Wat Ta'dil menyebutkan bahwa dalam hadits tersebut ada perawi yang tidak dikenal atau majhul yakni Abu 'Utbah. Yang sangat disayangkan hadits tersebut beredar di internet diriwayatkan oleh Muslim, seolah-olah memaksa istri agar hadits ini menjadi dalil yang kuat agar istri fokus kepada orangtua atau ibu kandung suami saja. Jadi hadits tersebut dimanipulasi sebagai riwayat muslim yang tidak ada riwayat dalam kitab shahih Muslim padahal riwayat Imam Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak. 2. Hadits tersebut bertentangan dengan hadits shahih berikut رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدَيْنِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ أَخْرَجَهُ التِّرمذيُّ، وصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ والحاكِمُ Maknanya "Ridha Allah berada pada ridha kedua orangtua dan Murka Allah berada pada murka kedua orangtua." HR. Tarmidzi, Ibnu Hibban menshahihkannya dan Imam Hakim. Dengan kata lain, jika seorang suami secara diktator memerintahkan kepada istrinya hanya berbakti kepada ibu kandungnya saja maka seorang suami tersebut kehilangan ridha Allah dari sisi mertuanya. Bisa dikatakan, suami mendapat bagian ridha Allah dari baktinya kepada ibu kandungnya sekaligus mendapat murka Allah dari tidak berbaktinya suami kepada mertuanya. Dengan kata lain, nol pahala yang diterima suami jadinya. Orangtua dan mertua memiliki kedudukan yang sama setelah pernikahan anaknya. Pada kedua kubu wajib bagi suami dan istri berbakti. Seorang suami pun wajib berbuat baik kepada mertuanya seperti dia berbuat baik kepada kedua orangtua yang telah melahirkannya karena mertuanya telah mengizinkan menantunya untuk mengambil anak perempuan untuknya, tanpa izin orangtua maka laki-laki tidak akan pernah bisa menikahi seorang wanita mana pun. 3. Jika hadits tersebut disalahgunakan dalam memahaminya maka hadits tersebut bertentangan dengan Alquran tentang prinsip-prinsip keadilan. Artinya kita butuh dalil yang lain untuk menyeimbangkan pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut. Saya banyak mendengar keretakan rumah tangga sering terjadi karena tidak meratanya keadilan, salah satunya diskriminasi suami terhadap orangtua istri. Dalam hal ini, suami wajib mencari jalan tengah yakni wajib meminimalisir resiko dan wajib mempertahankan rumah tangga. Bagaimana seorang suami memperlakukan orangtuanya dengan baik begitu pula dia memperlakukan mertuanya. Sebaliknya istri pun demikian. Keseimbangan ini akan menimbulkan rasa kasih dan sayang di antara suami dan istri karena sikap seperti ini lahir dari wawasan yang baik terhadap nash Alquran dan Hadits. 4. Jika hadits ini pun dijadikan hujjah maka sebenarnya hadits ini mengarahkan kepada wanita untuk tidak sepenuhnya terlalu merasa memiliki suaminya sehingga ia melarang suaminya untuk berbuat baik kepada ibu kandungnya. Karena faktanya di lapangan ada perempuan yang menghalangi-halangi suami untuk berbakti kepada ibunya karena perselisihan pendapat. Tidaklah semua itu terjadi kecuali karena ketidakpahaman istri dalam membina hubungan baik dengan orangtua. 5. Hadits itu tidak berbicara tentang bahwa istri adalah milik suami dan suami milik istri tapi persoalan hak suami yang harus didahulukan dalam menetapkan keputusan atau yang menyangkut aktivitas sehari-hari jika ada pertentangan. Imam Al-Buhuti dalam kitabnya Syarh Muntahal Iradat, إذا تعارضت طاعة الزوج مع طاعة الأبوين ، قدمت طاعة الزوج Maknanya "Jika kepatuhan istri terhadap suami bertentangan dengan kepatuhannya kepada kedua orangtuanya. Maka didahulukan terlebih dahulu bagi istri untuk mematuhi suaminya." Pertentangan ini kan jarang terjadi, jika harus terjadi seorang istri memilih keputusan suaminya seraya menyatakan dengan baik-baik kepada kedua orangtuanya. Nah, di sinilah pentingnya seorang suami dan mertua memiliki wawasan yang baik agar menyikapi setiap keputusan dengan bijak dan sabar. Namun perlu diperhatikan, pertentangan ini pada batas persoalan hubungan-hubungan yang normal antara suami dan mertua, apabila pertentangan itu sudah sampai pada keputusan suami agar istri mendurhakai orangtuanya. Maka tidak ada kewajiban seperti itu yang wajib ditaati. Sang Pecinta Kedamaian Ustadz Miftah.
SyurgaIsteri Dibawah Telapak Kaki Suami Hadith Dipublikasikan oleh misbaqule Kamis, 17 Februari 2022 Adapun janji syurga di bawah telapak kaki suami belum di temui namun cukuplah menjadi seorang isteri itu ahli syurga dengan mentaati suaminya yang demikian cukup banyak ayat al-Quran dan hadis baginda.
Kajian ini membahas tentang hak suami-istri menurut pemahaman Hasyim Asy’ari dalam karyanya Dha’u al-Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah yang tidak jarang ia sandarkan pada hadis-hadis tertentu. Kajian ini penting untuk melihat dinamika pemahaman tokoh nasionalis Indonesia yang pada masa itu memiliki pengaruh sangat kuat di masyarakat dan salah satu hasil karyanya ini sering dijadikan acuan normatif-teologis di kalangan-kalangan tertentu. Penelitian ini menggunakan teori hermeneutika teoritis dengan dua pendekatan khusus yakni pendekatan psikologis guna mengkaji biografi dan pendekatan linguistik guna mengkaji karyanya. Hasil dari penelitian ini adalah 1 pemahaman Hasyim Asyari tentang hak suami-istri yang dipaparkan dalam karyanya tidak bisa terlepas dari tiga hal latar belakang kehidupan, perjalanan intelektual dan konteks sosial masa itu. 2 uraian-uraian pemahaman yang ia sandarkan pada teks-teks hadis, pada kenyataannya tidak semua masih relevan jika dikontekstualisasikan di masa sekarang sehingga karya tersebut atau sejenisnya tidak semestinya disakralkan, melainkan memerlukan re-interpretasi baru untuk menghadapi berbagai problematika yang ada sekarang. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL LIVING HADIS, Vol. 2 Nomor 1, Mei, 2017; p-ISSN 2528-756; e-ISSN 2548-4761, hal 19-47 Hak Suami-Istri Perspektif Hadis Ḍa’u al-Misbāh fī Bayān Ahkām an-Nikāh Nurul Afifah IIQ An Nuur Yogyakarta afifahbae20 ABSTRACT This study discusses the husband-wife rights according to Hashim Ash'ari's thought in Ḍa'u al-  -. He relies on several and specific hadith related to the idea. This important study seeks to see the dynamic understanding of Indonesian nationalist figures who have widespread influence in society so his work played a part as a normative-theological reference in certain circles. This study uses hermeneutic theory, utilizing two approaches; both psychological benefited for biographical review and linguistic benefited for reviewing his work. The results of this study are 1 Hashim Asyari's understanding of marital rights can not be separated from three things the background of life, the intellectual journey as well as the social context of that era. 2 the descriptions of his insights, relates to the texts of the hadith, may not function relevantly in terms of modern contextualization, require at least a re-interpretation to deal with current problems. Keyword husband-wife rights, Hasyim Asy‟ari, hermeneutic ABSTRAK Kajian ini membahas tentang hak suami-istri menurut pemikiran Hasyim Asy‟ari dalam karyanya Ḍ -h    - yang tidak jarang ia sandarkan pada hadis-hadis tertentu. Kajian ini penting untuk melihat dinamika pemahaman tokoh nasionalis Indonesia yang pada masa HAK SUAMI-ISTRI itu memiliki pengaruh sangat kuat di masyarakat dan salah satu hasil karyanya yang sering dijadikan acuan normatif-teologis di kalangan tertentu. Penelitian ini menggunakan teori hermeneutika teoritis dengan dua pendekatan khusus yakni pendekatan psikologis guna mengkaji biografi dan pendekatan linguistik guna mengkaji karyanya. Hasil dari penelitian ini adalah 1 pemahaman Hasyim Asyari tentang hak suami-istri yang dipaparkan dalam karyanya tidak bisa terlepas dari tiga hal latar belakang kehidupan, perjalanan intelektual dan konteks sosial masa itu. 2 uraian-uraian pemahaman yang ia sandarkan pada teks-teks hadis, pada kenyataannya tidak semua masih relevan jika dikontekstualisasikan di masa sekarang sehingga karya tersebut atau sejenisnya tidak semestinya disakralkan, melainkan memerlukan re-interpretasi untuk menghadapi berbagai problematika sekarang. Keyword hak suami-istri, Hasyim Asy‟ari, hermeneutika A. Pendahuluan abi Muhammad Saw adalah seorang manusia yang diutus sebagai rasul bagi universum semesta dan seisinya, di dalam dirinya terdapat budi pekerti yang agung, segala perilaku dan tindakannya dijadikan pedoman umat Islam sampai hari ini, mulai dari perkataan, perbuatan dan ketetapan. Suri tauladan inilah yang selanjutnya disebut dengan hadis atau sunah. Rachman, 1974 20-27. Kapasitas Nabi Muhammad Saw tidak hanya sebatas sebagai rasul yang mengatur dan membimbing manusia, ada beberapa sisi kemanusiaan seperti beliau adalah seorang pemimpin negara, ayah bagi anak-anaknya dan suami bagi isteri-isterinya. Dari sisi inilah - umat Islam mengikuti  Nabi dengan melihat bagaimana sikap-sikap beliau sesuai dengan kapasitasnya. Nurul Afifah  Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, salah satu bentuk sisi kemanusiaan Nabi Muhammad adalah menjadi seorang suami dan seorang ayah. Dari perjalanan kehidupan beliau, disamping turun ayat-ayat al-Qur‟an – muncul pula beberapa hadis tentang aturan dalam berkeluarga, seperti hadis bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin dalam rumah tangga, kewajiban seorang laki-laki, kewajiban memberikan mahar, kewajiban istri patuh pada suami dan sebagainya. al-Bukhari, 1422 H 69 Hadis-hadis demikian hingga sekarang dijadikan patokan atau dasar oleh suami-istri dalam membina hubungan rumah tangga mereka. Sedangkan ditinjau dari segi literatur baik ulama klasik maupun kaum intelektual modern telah mencoba merangkum hadis-hadis tersebut ke dalam karya-karya mereka yang tentunya sesuai dengan pemahaman, pemikiran dan pemaknaan mereka terhadap hadis-hadis tersebut. Dalam konteks Indonesia, Hasyim Asy‟ari merupakan salah satu ulama besar yang mencoba menuangkan pemikiran-pemikiran tentang hukum dalam keluarga dengan menyandarkan pada teks-teks hadis tertentu. Pemikiran-pemikiran tersebut ia tuangkan dalam sebuah karya yang berjudul Ḍ--. dari berbagai macam karya Asy‟ari, tampaknya karya ini merupakan salah satu karya yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Sejauh penelusuran penulis, ada salah satu penelitian yang telah mencoba menelaah karya ini yakni yang ditulis oleh Nauval Fitriah berjudul “Penerjemahan Kitab Ḍ -    -”. Penelitian ini menfokuskan pada bagaimana sistematika penerjemahan metode semantis dan penerapannya pada kitab terjemahan Dau'u al-Misbah fi Bayani Ahkami al-Nikah. Sedangkan untuk penelitian HAK SUAMI-ISTRI tentang pemikiran-pemikiran Asy‟ari yang lainnya sudah relatif banyak dilakukan seperti “Pemikiran Hadis KH. Hasyim Asy'ari dan Kontribusinya terhadap Kajian Hadis di Indonesia” ditulis oleh Afriadi Putra. Penelitian ini membahas dan menganalisa sejauh mana pengaruh dan kontribusi dari pemikiran-pemikiran hadis Asy‟ari dalam konteks negara Indonesia. Kemudian “Kontekstualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asy'ari Tentang Persatuan Umat Islam” ditulis oleh Ahmad Khoirul Fata yang menfokuskan pada pemikiran-pemikiran Ay‟ari tentang persatuan yang dituangkannya dalam karya yang berjudul “Al-Muqaddimah al-Qnūn al-Ass l Jami'iyyah Naḥdatul Ulam". Menurut Fatta, Asy‟ari banyak menuangkan pemikiran persatuan mencakup banyak hal baik persatuan dalam kebangsaan, keagamaan, kebutuhan akan madzhab dan sebagainya. Dari berbagai macam penelitian yang berbeda, penulis mencoba mencari celah dengan mengkaji lebih lanjut bagaimana pemikiran Asy‟ari tentang Hak Suami-Istri yang ia paparkan dalam karyanya Ḍ -   - dengan menggunakan teori hermeneutika teoritis yang menitikberatkan pada dua pendekatan khusus yakni pendekatan psikologis dan pendekatan linguistik. Wijaya, 2006 25-26 Pendekatan psikologis digunakan untuk mengkaji biografi Hasyim Asy‟ari dan secara lebih jauh penulis berusaha mengungkap bagaimana dunia Asy‟ari atau dalam bahasa Palmer; mengungkap individualitas si pengarang. Sedangkan pendekatan linguistik digunakan untuk mengkaji teks-teks karyanya dari struktur bahasa dan melihat lebih jauh karya-karya lain yang memiliki keterkaitan dengan sumber-sumber penulisan atau pemikiran Asy‟ari. Hardiman, 2014 40-41. Nurul Afifah  Kajian ini merupakan kajian pustaka library reasearch yang bersifat deskriptif, kualitatif dan analitik. Keseluruhan data yang digunakan adalah data dokumentasi dengan data primer kitab Ḍ -   an-. Sedangkan untuk data sekunder berupa tulisan-tulisan lain yang menunjang tema penelitian seperti jurnal, artikel dan sebagainya. Selain untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif terkait pemikiran Asy‟ari tentang hak suami istri, out put yang ingin dicapai adalah melihat seberapa jauh relevansi pemikiran Asy‟ari terhadap masyarakat Indonesia, mengingat selain sebagai seorang pejuang kemerdekaan, nama Hasyim Asy‟ari masih sering di elu-elukan oleh mayoritas masyarakat Muslim Indonesia hingga masa kini. B. Sekilas Tentang Hak Suami-Istri Pernikahan merupakan salah satu syari‟at Islam yang bertujuan mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan keluarga yang penuh kasih sayang dan keberkahan. Mulia, 2011 40. Pernikahan juga merupakan suatu ibadah yang dianggap luhur, sakral, mengikuti sunah rasul dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, rasa tanggung jawab serta mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Wibisana, 2016 185 Setelah terjadinya ikatan pernikahan yang sah, kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan menjadi sebuah kesatuan, mereka hidup bersama, saling mendukung, bahkan diperbolehkan melakukakan sesuatu yang awalnya dilarang oleh agama jika belum menikah maka setelah menikah hal tersebut justru menjadi halal bahkan dikategorikan sebagai HAK SUAMI-ISTRI ibadah, misalnya hubungan seksual antara suami dan istri. Mulia, 2011 40 Namun yang paling penting adalah memahami bahwa pernikahan bukanlah sekedar prihal memenuhi nafsu seksual semata, melainkan memiliki tujuan-tujuan lain seperti ibadah kepada Allah Saw, memiliki keturunan dan sebagainya. Setelah menikah, seorang suami atau istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban terhadap pasangannya. Hak dan kewajiban tersebut bertujuan merumuskan keluarga bahagia, tanpa adanya subordinasi, marginalisasi ataupun pemiskinan terhadap hak dan kewajiban salah satu pihak baik suami maupun istri. Tihami dan Sahrani, 2010 153 Mengutip pendapat Tihami dan Sahrani dalam Fikih Munkaḥat, hak dan kewajiban suami istri diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk hak suami istri secara bersama, hak suami atas istri dan hak istri atas suami. Di antara hak suami istri yaitu a. Hak Suami-Istri Secara Bersama. Hak Suami Istri Secara Bersama Suami istri dihalalkan melakukan hubungan seksual, hal ini merupakan kebutuhan suami-istri yang dihalalkan secara timbal balik. Artinya suami berhak menuntut untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, begitu pula istri. Terjadi pertalian mahram semenda, artinya haram melakukan pernikahan dengan keluarga pasangan dengan katagori tertentu, istri menjadi mahram ayah, kakek dan Nurul Afifah  seterusnya ke atas - begitu halnya suami juga menjadi mahram ibu si istri mertua, nenek dan seterusnya. Terjadi hubungan waris-mewarisi sejak akad nikah dilaksanakan dan lain-lain. b. Kewajiban suami-istri secara bersama-sama Sementara itu kewajiban suami-istri secara bersama-sama menurut Tihami dan Sahrani 2010 157 dan Atabik dan Mudhiah 2014 289, sebagai berikut Kewajiban Suami atas Istri Menegakkan rumah tangga yang sakinah mawadddah wa rahmah Wajib saling mencintai, menghormati, setia, memberi bantuan lahir batin. Kewajiban untuk saling mengasuh anak, memelihara baik jasmani, rohani maupun kecerdasannya, serta mendidik Wajib saling memelihara kehormatan pribadi maupun satu sama lain, dan lain-lain. c. Hak dan kewajiban suami terhadap istri HAK SUAMI-ISTRI Ditaati kecuali dalam perkara maksiat. Suami wajib memberikan segala keperluan hidup rumah-tangga sesuai dengan kemampuannya. Berhak agar si istri menjaga diri sendiri dan harta suami. Suami berkewajiban memberi pendidikan agama kepada istri dan memberi kesempatan si istri untuk belajar pengetahuan yang bermanfaat dan berguna. Dijaga nama baik oleh si istri dan lain-lain. Membiayai pendidikan anak dan lain-lain. d. Hak dan kewajiban istri terhadap suami Taat dan patuh kepada suami Nurul Afifah  Hak mendapatkan perlakuan yang dari suami. Mengatur rumah dengan sebaik-baiknya Dijaga nama baik oleh si suami, dan lain-lain. Menghormati keluarga suami dan lain-lain. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dalam sebuah hubungan kekeluargaan antara suami dan istri masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan ditunaikan, sehingga baik suami maupun istri dapat merasakan sebuah ketenangan dengan masing-masing pasangannya. Untuk membentuk dan mewujudkan keluarga yang saknah mawaddah wa raḥmaḥ memerlukan peran serta tanggung jawab dari kedua belah pihak. Dengan mengetahui dan menunaikan segala sesuatu yang menjadi hak maupun kewajiban, diharapkan bisa mempermudah menuju keluarga bahagia tentunya dengan berdasarkan pada ajaran agama Islam dan hukum yang berlaku. C.  Hasyim Asy‟ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim Asy‟ari. Ia lahir pada tanggal 14 Februari 1871 M di Tambakrejo Jombang. Asy‟ari merupakan putra dari Kiai Asy‟ari dan Nyai Halimah, salah satu keluarga pesantren ternama di jombang pada masa itu. Yasin dan Karyadi, 2011 38. Secara silsilah Asy‟ari masih memiliki garis keturunan Sunan Giri dan Jaka HAK SUAMI-ISTRI Tingkir/Sultan Hadiwijaya bin Brawijaya VII. Kemudian ia juga dikenal masih memiliki keturunan darah bangsawan dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang memegang teguh nilai ajaran Islam dalam tradisi pesantren. Irawan MN, 2012 478 Saat berusia 6 tahun 1293 H/ 1876 M, Asy‟ari kecil bersama kedua orangtuanya pindah ke Desa Keras, Jombang. Kiai Asy‟ari diberi tanah oleh kepala desa yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Yasin dan Karyadi, 2011 39 Di sinilah Asy'ari mulai mendapat pendidikan dasar-dasar ilmu agama dari orangtuanya, serta mengetahui secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri dan masyarakat pada waktu itu. Ketika mencapai umur 11 tahun, Asy‟ari berangkat menuntut ilmu di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kurang lebih beberapa tahun berada disitu, ia telah menguasai dasar-dasar ilmu agama, lalu melanjutkan ke Pesantren Trenggilis, sesudah itu ia juga berguru kepada KH. Abdul Hadi di Pesantren Langitan Tuban. Di sana ia mendalami gramatikal Bahasa Arab dasar seperti Jurūmiyah, t, dan Alfiyyah Ibn Malik. Satu tahun di sana Asy‟ari kembali meneruskan perjalanan ilmunya ke Pesantren Kademangan Bangkalan Madura di bawah asuhan KH. Khalil. Di pesantren ini berbagai kajian ilmu fikih hingga tasawuf ia dapatkan. Dhofier, 1994 50 Pada usia 14 tahun, Asy‟ari ke Semarang untuk belajar kepada KH. Shaleh Darat. Dua tahun kemudian ia melanjutkan belajar di Pesantren Siwalan Sidoarjo di bawah asuhan Kiai Ya‟kub untuk mempelajari ilmu naql dan usūl fikih. Setelah 5 tahun di sana yakni tahun 1892 M 1308 H pada usia 21 Nurul Afifah  tahun, ia dinikahkan dengan Nafisah, salah satu putri Kiai Ya‟kub. Tidak hanya sampai disitu pada tahun 1893 Asy‟ari kembali melakukan perjalanan intelektual ke Makah dibawah bimbingan Syeh Mahfudz Termas, seorang ulama hadis pada masa itu. Asy‟ari berada di Makah selama 7 tahun, ketertarikan dan kecintaaannya terhadap hadis membuat ia membangun Pesantren saat kembali ke Indonesia. Saat itu ia telah diijazahi mengajar Shaḥḥ Bukhri dengan pewaris terakhir dalam pertalian sanad penerima hadis dari 23 generasi. Putra, 2016 47-56, Ghafir, 2012 81-82 Asy‟ari adalah seorang ulama yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Meski ia sempat beberapa tahun menetap di Makkah, namun semangat nasionalis untuk melawan para penjajah tetaplah berkobar. Menurut Jamal Ghafir, Asy‟ari pernah berazam hingga sampai di depan ka‟bah bahwa ia akan bersikukuh melawan imperialis Barat. Ketika pulang ke Indonesia ia sering memberikan fatwa-fatwa untuk membakar semangat perjuangan masyarakat Indonesia, misalnya dengan berfatwa bahwa orang Islam diharamkan melakukan kerjasama dan menerima bantuan dalam bentuk apapun dari kolonial Belanda. Ghafir, 2012 83 Bukan hanya itu, Asy‟ari termasuk salah satu ulama hadis Indonesia yang memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat Indonesia. Ia telah menuangkan pemikiran-pemikiranya ke dalam beberapa karya seperti Rislah ahl al-Sunnah wa al-Jam lah f al-Aq -Tanbht al-Ajibt dan salah satu karya yang menjadi fokus kajian penulis; Ḍ -    -. Sebagaimana para ulama pada umumnya, sebagian karya-karya yang ia tulis dilatarbelakangi oleh kondisi sosial masyarakat saat itu, begitu halnya dengan kitab Ḍa'u al-    -; penulisannya tidak lain HAK SUAMI-ISTRI sebagai bentuk respon terhadap permintaan masyarakat yang belum terlalu mengetahui bagaimana Islam mengatur hubungan dalam sebuah pernikahan atau kekeluargaan. Asy‟ari, 1415 H 3. Sepanjang hidupnya, Asy‟ari memang telah mengecam banyak pendidikan di Pesantren Jawa-Madura, bahkan di luar Indonesia. Saat kembali ke Indonesia, karir Asy‟ari bukan sekedar berkecimpung dalam dunia Pesantren saja, namun turut bergabung sebagai pemuka organisasi masyarakat yang dikenal dengan Nahdlatul Ulama pada masa itu. Saat terjadi Agresi Militer Belanda 1, banyak korban dari masyarakat Indonesia berjatuhan. Mendengar dan melihat keadaan ini, Asy‟ari jatuh sakit hingga akhirnya ia wafat pada 27 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H. Haziq, 5 D. Kitab Ḍa'u al-Misbāh fī Bayān Ahkām an-Nikāh Ḍa'u al-    - merupakan salah satu karya dari beberapa karya yang ditulis oleh Hasyim Asy‟ari. Karya ini selanjutnya ditulis kitab menjelaskan tentang hukum-hukum keluarga yang terdiri dari 22 halaman dan disusun menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang hukum-hukum pernikahan yang dirujuk dari al-Qur‟an dan Hadis. Bagian kedua berisi penjelasan Asyari tentang macam-macam hukum pernikahan disertai dengan tatacara dalam melakukan akad nikah, syarat-syarat dan etika nikah. Sedangkan bagian ketiga, menguraikan tentang hak dan kewajiban suami-istri disertai dengan landasan al-Qur‟an dan hadis serta beberapa paparan Asy‟ari terkait dengan pemikirannya terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dan teks-teks hadis tersebut. Pada bagian ketiga inilah yang nantinya menjadi fokus kajian penulis. Nurul Afifah  E.  a. Tahapan Psikologis Seperti yang telah penulis kemukakan di awal, Asy‟ari hidup di pulau jawa pada era penjajahan Belanda –saat itu kaum perempuan masih terkekang dengan adat istiadat yang memarginilisasi mereka, ditambah lagi dengan hadirnya penjajahan Belanda - membuat ruang gerak perempuan semakin sempit. Namun meski hidup dalam ruang sosial yang demikian, Asy‟ari tetap mencoba mengemukakan pemikiran-pemikirannya bahwa dalam hubungan kekeluargaan, perempuan memiliki hak-hak tertentu yang wajib dipenuhi oleh suami. Asy‟ari, 1415 H 19. Ḍa'u al-    - adalah kitab yang dikarang oleh Asy‟ari saat ia sudah kembali menuntut ilmu dari Makkah. Jika demikian maka fase perjalanan intelektual Asy‟ari bisa dikatagorisasikan menjadi dua tahap; pertama, saat ia berada di Indonesia di mana Asy‟ari banyak sekali mengecam pesantren-pesantren tradisional termasuk kehidupannya sendiri yang tumbuh di keluarga pesantren. Dari sekian banyak pesantren yang ia cicipi, kesemuannya adalah pesantren yang bernuansa mazhab Syafi‟i. Dalam paparan-paparannya Asy‟ari sering menyantumkan beberapa pendapat para ulama klasik seperti Ibnu Hajar, Syihab al-Ayybi, Imam Zarkasyi, Muhammad Ramli dan sebagainya. Di antara pendapat yang dipaparkan oleh Asy‟ari misalnya pendapat Muhammad Ramli yang ia kutip dari kitab Syahdah; menurut Ramli tidak sah sebuah pernikahan apabila perempuan yang dinikahi adalah perempuan bercadar, tidak jelas nasabnya dan tidak diketahui oleh kedua saksi bagaimana parasnya si perempuan HAK SUAMI-ISTRI tersebut. Kemudian contoh pendapat lain yang dikutip oleh Asy‟ari yakni pendapat Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm; menurut Imam Syafi‟i sebuah pernikahan hanya akan resmi jika pernikahan tersebut dituturkan oleh wali. Tampak sekali bahwa beberapa pendapat yang ia cantumkan dalam Ḍa'u al-ini merupakan pendapat-pendapat ulama yang beraliran Syafi‟iyyah. Kedua, perjalanan intelektualnya di Makkah. Selain belajar pada ulama Haramain, ia juga beguru pada ulama Indonesia yang berada di sana, seperti Mahfuż al-Tarmasī. Muhajirin, 2016 81 Hal yang perlu digaris bawahi, bahwa saat Kiai Asy‟ari berada di Makkah – seorang tokoh pembaharuan Islam; Muhammad Abduh sedang melancarkan gagasan dan gerakan pemaharuan Islam secara besar-besaran di Mesir. Hal ini memberikan pengaruh pada santri-santri Indonesia yang saat itu berada di Makkah tanpa terkecuali Kiai Asy‟ari. Salah satu bentuk gerakan pembaharuan Islam Abduh yang di ambil oleh Kiai Asy‟ari adalah memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini, Kiai Asy‟ari berkeyakinan bahwa untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam maka harus mengembalikan semuanya kepada al-Qur‟an dan hadis. Sunyoto, 2017 37 dalam Baso, Sunyoto dan Mummaziq, 2017 37 Demikian halnya dengan karyanya yang berjudul Ḍa'u al- ini, dalam uraian penjelasannya tentang hak suami istri selalu ia selipkan beberapa hadis-hadis tertentu yang memiliki keterkaitan dengan tema yang ia bahas. Selain itu, jika dilihat dari kondisi sosisal Asy‟ari hidup ia berada dalam masa penjajahan kolonial Belanda. Pada masa penjajahan ini, kaum perempuan memang masih dikelas duakan. Menurut Nur Urifatulailiyah, Nurul Afifah  sebenarnya marginilisasi terhadap kaum perempuan dalam adat istiadat di tanah Jawa sudah ada sebelum masyarakat jawa di kuasai oleh Kolonial Belanda. Bahkan pada masa dulu, perempuan tidak diberi ruang lebih untuk belajar selayaknya kaum laki-laki, pendidikan bagi kaum perempuan dianggap tidak penting, perempuan tidak diperbolehkan tampil di depan umum, perempuan dianggap lemah dan sebagainya. Urifatulailiyah, 2017 1482. Kemudian dengan hadirnya penjajahan Belanda, justru nasib kaum perempuan di tanah jawa semakin terpuruk. Mereka di batasi ruang gerak, maraknya pernikahan dini, poligami, perceraian yang terus bermunculan dan lain-lain. Urifatulailiyah, 2017 1487. Saat Asy‟ari menulis karyanya ini, ia mencoba menjawab keadaan masyarakat sekitar yang saat itu belum terlalu tahu tentang hukum-hukum pernikahan termasuk di dalamnya bagaimana kewajiban seorang suami terhadap istri, kewajiban seorang istri terhadap suami dan sebagainya. Menurut penulis, paparan-paparan Asy‟ari dalam karya ini memang cendrung lebih banyak membahas tentang kewajiban seorang istri terhadap suami dan apabila dipahami secara tekstual memang terkesan adanya subordinasi pada kaum istri, misalnya paparan bahwa istri harus menawarkan dirinya kepada suami jika berada di tempat tidur, istri harus selalu berdandan untuk si suami ada ataupun tidak ada suami di sampingnya, saat keluar rumah tanpa si suami, maka si istri harus berpura-pura tidak mengenali kaum lelaki lainnya dan sebagainya. Lalu bagaimana jika pada kenyataanya si istri menginginkan hal yang setimpal untuknya? misal saat berada di tempat tidur istri juga ingin diperlakukan bahwa sang suami yang menawarkan diri terlebih dahulu, sang suami juga harus selalu HAK SUAMI-ISTRI tampil rapi, saat keluar rumah sang suami juga harus menjaga diri bahkan berlaku seolah-olah tidak kenal kaum wanita lain jika ia tidak sedang bersama istrinya? Bukankah manusiawi jika seorang perempuan juga ingin diperlakukan sama? Namun terlepas dari memahami paparan tersebut secara tekstual, Asy‟ari justru telah memberikan kontribusi baru bagi masyarakat setempat. Ia sudah berusaha memetakan bahwa dalam kehidupan keluarga, antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak dan kewajiban artinya perempuan juga memiliki kedudukan khusus selayaknya suami sebagai seorang pemimpin yang harus di taati. Meski perempuan bertugas mengurus suami, anak, rumah tangga serta sepenuhnya harus taat dan hormat pada suami namun Asy‟ari menekankan bahwa perempuan harus diperlakukan dengan baik. Ia tidak boleh menerima perlakuan kasar apalagi jika sampai dipukul. Asy‟ari, 1451 H 16 b. Tahapan Linguistik Pada pembahasan hak suami istri, Asy‟ari memang memberikan paparan yang relatif singkat terkait dengan hak dan kewajiban suami terhadap istri daripada paparan tentang hak dan kewajiban istri terhadap suami. Dalam hal ini, penulis mencoba membaginya menjadi dua bahasan; kewajiban suami yang menjadi hak istri dan kewajiban istri yang menjadi hak suami.  Kewajiban Suami yang menjadi Hak Istri Menurut Asy‟ari, kewajiban suami yang menjadi hak istri yakni Nurul Afifah      Suami wajib memperlakukan istrinya dengan baik - dengan memberikan mahar, nafkah, biaya hidup, pakaian, berlaku baik, bertutur kata yang baik, sabar atas perlakuan akhlak buruk istri, menuntun istri ke jalan kebaikan dan ibadah. Suami mengajari apa yang dibutuhkan oleh istrinya dalam hal agama seperti hukum-hukum bersuci, haid dan shalat fardhu yang di qada dan tidak di qada. Pada teks di atas, Asy‟ari memaparkan tentang kewajiban seorang suami terhadap istri sebagaimana yang dipaparkan oleh mayoritas ulama, mulai dari memperlakukan istri dengan baik, memberi mahar dan seterusnya hingga kewajiban suami mengajarkan istrinya prihal ilmu agama seperti ilmu fikih tentang tata cara bersuci dan ilmu kewanitaan. Attabik dan Maudhiiah, 2014 294-295; al-Bantani, 2005 6-8 Kemudin Asy‟ari juga memaparkan sebuah hadis                  Ketahuilah, hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita, karena mereka laksana tawanan yang berada disisi kalian. Kalian tidak berhak atas mereka lebih dari itu, kecuali jika mereka HAK SUAMI-ISTRI melakukan perbuatan keji yang nyata. Jika mereka melakukannya, jauhilah mereka di tempat tidur dan pukulah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Jika kemudian mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah; kalian memiliki hak atas istri kalian dan istri kalian memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas istri kalian ialah dia tidak diperkenankan membawa orang yang kalian benci ke tempat tidur kalian dan rumah kalian. Ketahuilah; hak istri kalian atas kalian ialah kalian berbuat baik kepada mereka dalam memberikan pakaian dan makanan kepada mereka. Setelah menjelaskan hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami, Asy‟ari menyantumkan hadis tentang wasiat berbuat baik kepada wanita istri. Istri memang di ibaratkan sebagai tawanan perang bagi si suami. Namun bukan berarti si suami bebas berlaku tidak baik kepada istrinya. Suami boleh memberi peringatan kepada sang istri jika si istri memang melakukan sebuah kesalahan atau perbuatan keji. Sedangkan jika si istri tidak melakukan kesalahan maka suami tidak boleh mencari-cari kesalahan si istri. Al-Bantani, 2005 6-7. Jika dikaitkan dengan fenomena masa Asy‟ari hidup, perempuan dalam masyarakat memang tidak terlalu diperhatikan. Dalam ranah keluarga, Asy‟ari tampil dan mencoba memberikan penjelasan lebih bagi masyarakat bahwa bagaimapun perempuan berhak diperlakukan dengan baik. Lalu dalam beberapa paragraf selanjutnya, Asy‟ari kembali menyebutkan beberapa hadis lain yang masih berkaitan dengan hak istri yang menjadi kewajiban suami         Hak seorang wanita atas suaminya yakni memberi makan kepadanya apabila dia makan, memberi pakaian apabila ia berpakaian, tidak Nurul Afifah  memukul wajah, tidak menjelek-jelekkannya dan tidak boleh mendiamkannya kecuali di dalam rumah Hadis ini masih berkaitan dengan hadis sebelumnya tentang kewajiban suami yang mejadi hak istri. Di samping suami harus memperlakukan istri dengan baik, maka suami memiliki kewajiban-kewajiban lain seperti memberi makan, pakaian, tidak memukul istri, tidak mendiamkan istri jika ia melakukan kesalahan jika ingin mendiamkan istri sebagai bentuk peringatan, maka diamkanlah istri ketika di rumah. Kemudian Asy‟ari menyantumkan hadis tentang peringatan kepada laki-laki yang sudah menikah di mana ia tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang suami      Siapapun laki-laki yang menikahi perempuan dengan mahar yang sedikit atau banyak dan dirinya tidak berniat untuk tidak memenuhi hak istri atau menipunya namun laki-laki tersebut meninggal dunia dan belum memenuhi hak-hak istrinya maka di hari kiamat ia akan menghadap Allah sebagai seorang pezinaMenurut hadis yang dicantumkan Asy‟ari dalam kitabnya, laki-laki yang sudah menikah dan ia dengan sengaja tidak melaksanakan tugasnya sebagai sebagai seorang suami dan tidak memenuhi hak-hak istrinya, kemudian ia meninggal maka laki-laki tersebut mati sebagai seorang pezina. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban seorang laki-laki yang sudah menikah bukan lagi hal yang sepele, suami tidak boleh meremehkan kewajiban-kewajibannya tersebut. Sebaliknya ia harus benar-benar menjadi HAK SUAMI-ISTRI seorang yang bertanggung jawab terhadap istrinya. Kemudian Asy‟ari menyantunkan tiga hadis lain yang saling menguatkan tentang kewajiban-kewajiban suami Sesungguhnya di antara sempurnanya iman swseorang mukmin adalah mereka yang paling baik akhlaknya dan lembut kepada istrinya Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.   Tidak ada seseorang yang bertemu Allah Swt dengan dosa yang lebih besar daripada membiarkan keluarganya dalam kebodohan. Pada pragraf terakhir sebagaiman penulis cantumkan di atas, Asy‟ari kembali menyantumkan hadis Nabi tentang wasiat kepada para suami agar menjadi seorang pemimpin yang baik dalam keluarganya. Jangan sampai seorang pemimpin membiarkan keluarganya jatuh dalam kebodohan. Hal ini menggambarkan jika seorang suami memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Bukan hanya sebagai seorang suami terhadap istri, tapi sebagai seorang ayah yang memimpin anak-anaknya.  Kewajiban istri yang menjadi hak suami Hasyim Asy‟ari mengungkapkan ada banyak hal yang menjadi kewajiban istri terhadap suaminya kewajiban yang menjadi hak suami, yakni Nurul Afifah    Hak-hak suami yang menjadi kewajiban seorang istri itu banyak, di antaranya seorang istri wajib mentaati suami kecuali dalam hal-hal yang dilarang agama, istri tidak boleh puasa tanpa izin suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izin dan rida suami, istri wajib mencari keridaan suami dan berusaha sebisa munkin menjauhi perkara yang dibenci suaminya. Sebagaimana suami memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan untuk memenuhi hak istri, maka istri pun memiliki kewajiban yang harus di lakukannya guna memenuhi hak suami. Dalam paragraf awal, Asy‟ari menjelaskan beberapa hal yang harus dilaksanakan oleh seorang istri seperti wajib taat kepada suami, jika ingin berpuasa maka harus meminta izin suami, tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa izin suami dan mencari ridha suami. Barbagai hal baik bisa istri lakukan untuk mencari ridha dari suami. Kemudian Asy'ari menyebutkan lebih lanjut            Seorang istri harus menyadari bahwa dirinya adalah milik suaminya - ia tidak diperbolehkan menggunakan harta suami kecuali atas izin si suami, suami diperbolehkan berpendapat terkait harta si istri sebab istri merupakan tanggung jawabnya, istri harus memprioritaskan hak-hak suami atas hak-hak saudara sang istri. Asy‟ari, 1415 H 20. Pada pernyataan di atas, Asy‟ari menjelaskan tentang penggunaan harta si suami, seorang istri tidak diperbolehkan menggunakan harta suami tanpa izinnya. Kemudian ia juga menegaskan bahwa saat sudah menikah, istri HAK SUAMI-ISTRI harus memprioritaskan hak-hak suami dari pada hak-hak saudara-saudara sang istri. Berkenaan dengan penggunaan harta, permohonan ijin dari istri kepada suami memang penting dan perlu, selain sebagai bukti adanya penghormatan istri terhadap suami juga melatih seberapa besar sifat amanah istri terhadap harta-harta suami. Namun hal yang paling penting tidak lain demi meraih kebahagiaan bersama dalam relasi suami-istri tidak boleh ada sikap timpang sebelah seperti subordinasi dan marginalisasi, terlebih masa sekarang tidaklah sama dengan masa di mana karya ini ditulis perempuan telah terjamin bebas memiliki hak untuk belajar dan berkarya. Mulia, 2011 87-88 Kemudian terkait dengan tidak diperkenankannya menggunakan harta tanpa izin suami, ada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa istri tdak diperbolehkan menggunakan harta dirinya tanpa seijin suaminya    Dari Mujahid - Nabi Saw bersabda "Seorang isteri tidak boleh memakai hartanya jika suaminya menguasainya tidak memberikan ijin." Berdasarkan hadis di atas, dapat kita ketahui bahwa seorang perempuan jika memiliki harta pribadi ia tidak diperbolehkan menggunakan hartanya tanpa seijin suami. Hal ini menggambarkan betapa seorang istri harus benar-benar menghormati sang suami. Apalagi jika dalam konteks menggunakan tasarruf harta sang suami tanpa ijin sebagaimana yang dipaparkan oleh Asy‟ari di atas. Secara etika hal tersebut tidak menunjukkan wujud pengormatan si istri terhadap suami. Nurul Afifah  Kemudian Asy‟ari menambahkan bahwa istri harus siap atas permintaan suami, ia juga wajib menjaga kebersihan dirinya, tidak boleh sombong atas kecantikan dirinya, tidak boleh mencela kejelekan suami, harus menundukkan pandangan di depan suaminya, mengikuti perintahnya, diam saat suami berbicara, berdiri untuk menyambut kedatangan dan ketika suami hendak pergi. Asy‟ari, 1415 H 20-21 Paparan-paparan Asy‟ari tersebut jika dilihat lebih lanjut, hampir sama dengan yang dikemukakan oleh ulama klasik lainnya seperti Nawawi al-Bantanī juga Manna‟ Khali al-Qattan Al-Bantani, 2005 14-15; al-Qattan, 2009 51-59. Selanjutnya Asy‟ari masih menerangkan tentang kewajiban istri  Seorang istri harus menyerahkan diri pada suaminya ketika hendak tidur, menuruti keinginan suaminya di tempat tidur dan menjaga harta suaminya, menjaga bau mulutnya agar tetap wangi, selalu berdandan ketika suami ada ataupun sedang berpergian, menghormati keluarga dan kerabat suami, mencari keridhaan suami karena suami adalah surga atau neraka sang istri kelak. Beberapa hal yang dijelaskan oleh Asy‟ari di atas merupakan bagian dari kewajiban istri baik kewajiban dari tempat tidur hingga di luar itu seperti menjaga diri menjaga harta dan menghormati keluarganya. Dalam sebuah hubungan keluarga seorang istri harus benar-benar mengabdi kepada suami, bahkan prihal berdandannya seorang istripun harus diniatkan untuk suami kesemuaan itu tidak lain adalah untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat sang istri. Suami dinyatakan sebagai ladang neraka atau surga si istri HAK SUAMI-ISTRI kelak. Saat sudah menikah, sepenuhnya istri harus mengikuti suami kecuali dalam perkara yang dilarang agama, berbeda halnya dengan suami ia tetap memiliki tanggung jawab kepada kedua orang tuanya terlebih kepada ibunya. Meski demikian bukan berarti seorang perempuan yang telah menikah tidak memiliki tanggung jawab untuk mengabdi dan mengasuh orang tua mereka ketika masa tua. Oleh sebab itu walaupun dalam uraian kewajiban istri yang menjadi hak suami bagi seseorang laki-laki yang baik semestinya dia memahami dan memberikan izin kepada istri agar berkesempatan mengabdi kepada kedua orang tuanya dengan berbagai macam cara. Kemudian ada beberapa hadis yang dicantumkannya       Ketika seorang perempuan melaksanakan solat lima waktu, puasa di bulannya, menjaga dirinya dan taat kepada suaminya maka dikatakan kepadanya perempuan "masuklah kamu ke dalam surga melalui pintu mana saja yang kamu inginkan        {Diriwayatkan dari Aisyah, Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, "siapa saja orang yang paling besar memiliki hak atas perempuan? Beliau menjawab "suaminya", aku bertanya lagi "siapa yang paling berhak atas laki-laki? Beliau pun menjawab "ibunyaAsy'ari menyebutkan bahwa perempuan memiliki adab-adab tertentu yang harus mereka laksanakan, yakni berdiam di dalam rumah, menyibukkan diri di dalam rumah, istri tidak diperbolehkan banyak bicara, Nurul Afifah  tidak diperbolehkan mengunjungi para tetangganya kecuali jika ada suatu kepentingan, istri harus menghormati suami baik si suami ada ataupun tidak ada di sampingnya, istri harus berusaha membahagiakan suami dalam segala hal, apabila si suami sudah memberikan izin kepada istri untuk keluar rumah maka saat istri keluar rumah ia tidak diperbolehkan bermuka murung, kotor atau mengenakan pakaian yang jelek dan ia harus menundukkan pandangan saat berjalan, tidak jelalatan dan berpura-pura tidak mengenal orang lain laki-laki yang mengenalnya. Asy‟ari, 1415 H 21 Ada beberapa hal dalam pragraf terakhir ini yang kiranya perlu di tinjau ulang, seperti istri harus berdiam di dalam rumah, menyibukkan diri di dalam rumah atau jika keluar rumah istri berpura-pura tidak mengenal orang lain laki-laki yang mengenalnya. Mengutip pendapat Nafisah dalam Istri Ideal Persepektif Hadis, memahami teks-teks hadis maupun pemikiran-pemikiran terhadap hadis yang lahir pada masa klasik maupun sampai sebelum abad 20, perlu kita ketahui bahwa gambaran-gambaran istri ideal yang demikian adalah citra istri dalam konteks budaya Bangsa Arab maupun di luar Arab yang masih menganut paham patrilinel. Jika di lihat dari kondisi sosiologis pada masa itu wajar saja seorang istri harus berdiam diri di rumah sebab alam sekitar memiliki musim yang tidak terlalu baik untuk keamanan dan kesehatan ditambah lagi kebudayaan masyarakat tempo dulu para kaum lelaki sering keluar rumah hingga berbulan-bulan lamanya. Jika sang istri keluar rumah saat suami tidak berada di rumah, kemungkinan besar perbuatan-perbuatan keji mudah saja terjadi. Nafisah, 2010 4 HAK SUAMI-ISTRI F. Simpulan Berdasarkan paparan diatas, dapat di ambil kesimpulan bahwa pemikiran hadis Hasyim Asy‟ari tentang hak suami-istri yang tertuang dalam karyanya Ḍa'u al-    - tidak bisa terlepas dari tiga hal latar belakang kehidupan, latar belakang keilmuannya dan kondisi sosial masyarakat pada masa itu. Dalam konteks Indonesia, kontribusi pemikiran hadis Asy‟ari tentang hak suami-istri bisa dikatakan sangat besar, ia telah berusaha memetakan hak dan kewajiban antara suami-istri sebagai bentuk penjelasan kepada masyarakat setempat yang telah lama tenggelam dalam „adat marginalisasi pada kaum perempuan, meski demikian tidak semua pemikiran „Asy‟ari masih relevan dengan konteks sekarang misalnya apabila istri keluar rumah tanpa suami maka ia harus bersikap seolah-olah tidak megenal laki-laki siapapun yang ia temui dan sebagainya. Dengan demikian berarti tidak menutup kemungkinan perlu adanya pembaharuan atau interpretasi baru terhadap karya ini dan beberapa karya lain yang serupa khususunya karya-karya yang terlanjur disakralkan oleh kalangan-kalangan tertentu yang masih dijadikan acuan problematika-problematika yang muncul masa kini. G. Daftar Pustaka Al-Bantanī, Muhammad bin 'Amr bin 'Ali Nawawī. 1987. Syarah 'Uqud al-Lujjain fi Bayn Huqūq al-Zaujain. Beirut Dār al-Kutub al-Ilmiah. Nurul Afifah  Asy‟ari, Hasyim. 1415 H. -Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Jombang Pustaka Warisan Islam Tebuireng. Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta LP3ES. Forum Kajian Kitab Kuning FK3. 2003. Wajah Baru Relasi Suami-Istri; Telaah Terhadab Kitab Uqud Al-Lujjayn. Yogyakarta LKiS. Ghafir, Jamal. 2012.       dan Penggerak NU. Tuban GP Anshor. Hardiman, F. Budi. 2015. Seni Memahami Hermeneutika Dari Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta Kanisius. Haziq, Ishomuddin.      Jombang Pustaka Warisan Islam. Irawan, Aguk. 2012.        Depok Global Media Utama. Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadis; Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis. Jakarta Erlangga. Mulia, Siti Musdah 2011. Membangun Surga Di Bumi; Kiat-Kiat Membina Keluarga Ideal Dalam Islam. Jakarta PT Garamedia. Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadis. Bandung Al-Ma‟arif. Sunyoto, Agus 2017. KH Hasyim Asy'ari; Sang Ulama Pemikir dan Pejuang, dalam Ahmad Baso, Agus Sunyoto dan Rijal Mummaziq. KH Hasyim Asy'ari; Pengabdian Seorang Kiai Untuk Negeri. Jakarta Museum kebangkitan Nasional kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. HAK SUAMI-ISTRI Tihami dan Sahrani, Sohari. 2010. Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta Rajawali Pers. Wijaya, Aksin. 2009. Teori Interpretasi Rusyd Kritis Ideologis-Hermeneutis. Yogyakarta Lkis. Fitriah, Nauval. 2017. Penerjemahan Kitab Dau'u al-Misbah fi Bayani Ahkami al-Nikah. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Wijaya, Aksin. 2016. Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah. Bandung. Mizan Pustaka. Jurnal Atabik, Ahmad dan Mudhiiah, Khoridatul. 2014. Pernikahan dan Hikmahnya Perspektif Hukum Vol. 5, No. 2. Desember Fata, Ahmad Khoirul. 2014. Kontekstualisasi Pemikiran KH. Hasyom Asy'ari tentang Persatuan Umat Islam. Jurnal Miqot, Vol. 38, No. 2, Juli-Desember. Muafiah, Evi. 2013. Pendidikan Perempuan di Pondok Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam Vol. 7. No. 1, April. Nafisah, Durrotun. 2010. Istri Ideal Dalam Persepektif Hadis; Telaah Sanad dan Matan. Studi Gender dan Anak, Vol. 5 No. 2 Jul-Des. Putra, Afriadi. 2016.       Kontribusinya Terhadap Kajian Hadis Di Indonesia. Jurnal Wawasan. Vol. 39, No. 1, Januari. Urifatulailiyah, Nur. 2017, Pemikiran pendidikan Perempuan Pribumi dalam Pers Kolonial Tahun 1908- Jurnal pendidikan Sejarah. Vol 5, No. 1, Maret. Nurul Afifah  Wibisana, Wahyu. 2016. Pernikahan Dalam Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam -Ta'lim Vol. 14, No. 2. Muhammad AzizAbdul Aziz HarahapThis study aims to describe indicators of the formation of a sakinah family according to Hasyim Asy'ari and its relevance to the Compilation of Islamic Law KHI. This qualitative research in the form of literature study uses philosophical normative. The main data source, namely the book Dhau' al-Mishbah fi Bayani Ahkam an-Nikah by Hasyim Asy'ari. Several articles in the KHI as the theory of analysis of this research. The results of the study show that there is a relevance between indicators for the formation of a sakinah family according to Hasyim Asy'ari with the construction of legal provisions in the Kompilasi Huukum Islam KHI. First, the indicators of complying with the legal principles, requirements, and pillars of marriage that are relevant to KHI articles 4, 16, 20, and 27. It's just that the view of Hasyim in this first indicator tends to be textual. In contrast to KHI which is more contextual. Second, the recommendation indicator in choosing a life partner that is relevant to KHI Articles Articles 15, 16, 17, and 61. In this case, the criteria for the recommendation to choose a partner by Hasyim is more detailed covering various aspects, including religion, physical, lineage, economy, psychological and social status. Third, the indicator understands the principles of the purpose and benefits of marriage that are relevant to Articles 2 and 3. Third, the indicator is to build a good partnership in carrying out the rights and obligations of husband and wife that are relevant to the KHI Article 80. However, regarding the duties or obligations of the wife, Hasyim is more detailed than KHI. The theoretical implications of this research show indicators of the formation of a sakinah family in the view of Hasyim Asy'ari has relevance as well as can be the basis for formulas in the development and renewal of Islamic marriage law in Indonesia. The limitation of this research is that it has not studied in depth the heurmenetic aspects of the construction of the views of Hasyim is related to four indicators of the formation of a sakinah family. Afriadi PutraThis article describes the opinion of KH. M. Hasyim Asy’ari, one of the Indonesian Hadith scholars, and his contribution to the study of Hadith in Indonesia. This study is important to understand the dynamic of Hadith study in Indonesia that experienced stagnancy for certain period. The twentieth century marked as the rising of Hadith study in Indonesia by the emergence of many Hadith books of Arabic languages, their translations and the scholars opinion related to Hadith. The book of risa>lah ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah is among those books that was written in the beginning of the twentieth century. This book played a significant role at that time as a guidance for Muslim society in facing modernity. The content of this book provides basic themes related to religious experiences of the community. This book is also represented the opinion of KH. M. Hasyim Asy’ari related to Hadith, as an Indonesian Muslim scholar who received isna>d H{adith the chain of Hadith transmission from his teacher Syeikh Mahfudz Muafiahp>This article attempts to show women's education reality in pesantren, par-ticularly pesantren that administers the two institutions at the same time, the education for men and for women. This is certainly different from those car-ry out the education specific for women. Indonesia has started to open edu-cational opportunities for women at the time of Kartini, in which the previous women education was limited by the culture. The spirit to obtain education that equal with men was stated in her letters. Kartini had inspired some Indonesian women to get education as men. Later, some women who pioneered education for women appeared such as Rahmah el-Yunusiyah, Rangkayo Rasuna Said, Dewi Sartika etc. Each of them established a special school for girls with different studies taught. Abstrak Tulisan ini berupaya menunjukkan beberapa realitas pendidikan perempuan di pesantren, utamanya pesantren yang mengelola dua lembaga sekaligus, yaitu pendidikan untuk laki-laki dan pendidikan untuk perempuan. Hal ini tentunya berbeda dengan pendidikan yang dilakukan di lembaga pendidikan yang memang didirikan khusus untuk perempuan. Indonesia dapat dikatakan telah mulai membuka peluang pendidikan bagi perempuan pada masa RA Kartini, dimana sebelumnya pendidikan bagi perempuan sangat dibatasi oleh budaya yang terjadi saat itu. Semangat untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan para laki-laki tertuang dalam surat-surat-nya. Kartini telah memberikan inspirasi bagi beberapa perempuan di Indonesia untuk men-dapatkan pendidikan sebagaimana laki-laki. Hingga muncul pada masa-masa setelahnya beberapa perempuan yang mempelopori pendidikan bagi perem-puan itu sendiri. Sebut saja misalnya Rahmah el-Yunusiyah, Rangkayo Rasuna Said, Dewi Sartika dan lain sebagainya, dimana masing-masing dari mereka mendirikan sekolah khusus bagi perempuan dengan berbagai kajian yang berbeda yang diajarkan di sekolah tersebut. Darihadis di atas telah disebutkan bahwa yang berhak terhadap seorang laki-laki adalah ibunya. Namun bukan berarti seorang suami bebas menelantarkan istri demi seorang ibu. Itu salah, karena Ibu dan istri memiliki kedudukan yang sama pentingnya dalam islam, kedua-duanya harus diutamakan dan dimuliakan. Seorang suami memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar, di antaranya adalah peranan dan tanggung jawabnya kepada istrinya. Karena seorang istri sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab suami. Namun demikian, seorang suami juga tetap berkewajiban untuk menafkahi orangtuanya. Karena orangtua adalah tanggung jawab anak laki-laki suami. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Saw., “Siapakah yang berhak terhadap seorang wanita? Rasulullah menjawab “Suaminya” apabila sudah menikah. Kemudian Aisyah Radhiyallahu anha bertanya lagi “Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki? Rasulullah menjawab “Ibunya,” HR. Muslim. Dari hadist tersebut jelas bahwa ibu adalah tanggung jawab anak laki-laki suami. Namun yang terjadi sekarang umumnya berbeda. Seorang suami sepenuhnya dimiliki oleh istri. Padahal masih ada orangtuanya yang wajib ia nafkahi. Lantas, siapakah yang lebih diprioritaskan oleh seorang suami, apakah bakti suami sebagai anak terhadap ibunya ataukah kewajiban suami terhadap istrinya? Ibu ataukah istri yang harus didahulukan suami? Ini merupakan persoalan yang sangat sulit bagi laki-laki. Dari Abu Hurairah radliallahu anhu dia berkata; “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sambil berkata; “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya?” beliau menjawab “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” beliau menjawab “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “kemudian siapa lagi?” beliau menjawab “Ibumu.” Dia bertanya lagi; “Kemudian siapa?” dia menjawab “Kemudian ayahmu.” [HR. Bukhari dan Muslim Maka jika Anda seorang istri dari suami yang seperti itu, hendaknya dukung dengan baik agar suaminya senantiasa melakukan berbagai ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Berbakti kepada orang tua atau birrul wâlidain terutama kepada ibunya dan menyambung tali silaturahmi dengan baik pada orang tua setelah menikah merupakan suatu ketaatan kepada Allah yang amat baik. Dari hadis tersebut, telah disebutkan bahwa yang berhak terhadap seorang laki-laki adalah ibunya. Namun bukan berarti seorang suami bebas menelantarkan istri demi seorang ibu. Itu salah, karena Ibu dan istri memiliki kedudukan yang sama pentingnya dalam islam, kedua-duanya harus diutamakan dan dimuliakan. Tapi yang harus diingat bahwa seorang ibu yang shaleh akan melahirkan anak yang shalih hingga tumbuh jadi suami yang shalih pula. Sedangkan istri yang shalih akan menjadikan rumah tangga suaminya penuh dengan cinta dan kasih sayang, membantu suami dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan memenuhi kewajiban suaminya karena seorang wanita adalah milik suaminya dan seorang laki-laki adalah milik ibunya. Seorang istri tidak perlu cemburu kepada orang tua suaminya mertua, karena dia yang telah melahirkan suaminya. Seorang Istri yang shalihah tidak akan menghalangi bakti suami kepada orangtuanya. Karena berbakti kepada orangtua adalah kewajiban besar yang diperintahkan Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran surah Al-Isra’ ayat 23 “Dan Tuhanmu telah memerintahkanmu supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu. Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” kepada keduanya. dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia,” QS. Al-Isra’ 23. Dari ayat tersebut jelas perintah Allah untuk berbakti kepada orangtua. Jadi seorang istri harusnya menyadari akan kewajiban suaminya untuk berbuat baik dan berterima kasih kepada kedua orangtuanya. Dengan menolong suami berbuat kebaikan maka Allah akan menolong seorang istri dengan menumbuhkan cinta kasih yang mendalam di hati suaminya. Dan suami pun akan bangga mempunyai istri yang selalu mendorongnya untuk berbuat kebaikan dan menyayanginya dengan penuh kasih sayang, serta menyayangi dan menghormati kedua orangtuanya. Sejatinya, jika seorang istri berbuat baik kepada mertua, menganggap mereka sebagai orangtuanya sendiri, maka mertua pun akan baik dengannya. Maka dari itu, seorang istri haruslah patuh dan taat kepada suaminya, karena mereka adalah imam baginya. Demikian pula dengan seorang suami, sudah semestinya menyayangi dan memuliakan istrinya. Seperti hadits berikut,”Seandainya aku dibolehkan memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” HR. Muslim Seorang suami harus ingat bahwa istri dan orangtuanya memiliki kedudukan yang mulia. Dengan istrinya pulalah seorang suami nantinya akan melahirkan keturunan baginya. .
  • n31z49giuy.pages.dev/364
  • n31z49giuy.pages.dev/271
  • n31z49giuy.pages.dev/295
  • n31z49giuy.pages.dev/95
  • n31z49giuy.pages.dev/78
  • n31z49giuy.pages.dev/12
  • n31z49giuy.pages.dev/1
  • n31z49giuy.pages.dev/147
  • hadist istri milik suami suami milik ibunya