1901/2021. Asbab Nuzul Surat Al-Maidah Ayat 51. Dalam kajian Asbab Nuzul ada dua kaidah yang sering diperdebatkan yakni al-ibrah bi umum al-lafdzi (pemahaman ayat adalah berdasar pada keumuman lafadznya) dan al-ibrah bi khusus al-sabab (pemahaman ayat adalah berdasar Asbabun Nuzulnya). Sebenarnya kedua kaidah ini dapat dikompromikan dalam
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ الماۤئدة ٣Pada ayat yang lalu telah dijelaskan beberapa perbuatan yang diharamkan. Ayat ini menguraikan lebih terperinci makanan-makanan yang diharamkan. Ada sepuluh jenis makanan yang diharamkan, semuanya berasal dari hewan. Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam Surah alAn'a m/6 145, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, demikian pula diharamkan daging hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas adalah halal hukumnya kalau sempat disembelih sebelum mati. Dan diharamkan pula hewan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula mengundi nasib dengan anak panah. Orang Arab Jahiliah menggunakan anak panah untuk menentukan apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Mereka mengambil tiga buah anak panah yang belum memakai bulu, masing-masing anak panah itu ditulis dengan kata-kata "lakukan"," jangan lakukan", dan anak panah yang ketiga tidak ditulis apa-apa. Semua anak panah itu diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Kakbah. Bila mereka hendak melakukan suatu perbuatan, maka mereka meminta agar juru kunci Kakbah mengambil salah satu dari tiga anak panah itu. Mereka melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan sesuai dengan bunyi kalimat yang tertulis dalam anak panah yang diambilnya. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulangi sekali lagi. Janganlah melakukan yang demikian itu karena itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini, yaitu pada waktu Haji Wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, orang-orang kafir telah putus asa untuk mengalahkan agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa, dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.Diharamkan bagimu bangkai yakni memakannya darah yang mengalir seperti pada binatang ternak daging babi, hewan yang disembelih karena selain Allah misalnya disembelih atas nama lain-Nya yang tercekik yang mati karena tercekik yang dipukul yang dibunuh dengan jalan memukulnya yang jatuh dari atas ke bawah lalu mati yang ditanduk yang mati karena tandukan lainnya yang diterkam oleh binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih maksudnya yang kamu dapati masih bernyawa dari macam-macam yang disebutkan itu lalu kamu sembelih dan yang disembelih atas nama berhala jamak dari nishab; artinya patung dan mengundi nasib artinya menentukan bagian dan keputusan dengan anak panah azlaam jamak dari zalam atau zulam; artinya anak panah yang belum diberi bulu dan ujungnya tidak bermata. Anak panah itu ada tujuh buah disimpan oleh pengurus Kakbah dan padanya terdapat tanda-tanda. Maka tanda-tanda itulah yang mereka ambil sebagai pedoman, jika disuruh mereka lakukan dan jika dilarang mereka hentikan. Demikian itu adalah kefasikan artinya menyimpang dari ketaatan. Ayat ini turun pada hari Arafah masa haji wadak, yaitu haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus-asa terhadap agamamu untuk mengembalikan kamu menjadi murtad setelah mereka melihat kamu telah kuat maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah pada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya dan telah Kucukupkan padamu nikmat karunia-Ku yakni dengan menyempurnakannya dan ada pula yang mengatakan dengan memasuki kota Mekah dalam keadaan aman dan telah Kuridai artinya telah Kupilih Islam itu sebagai agama kalian. Maka siapa terpaksa karena kelaparan untuk memakan sesuatu yang haram lalu dimakannya tanpa cenderung atau sengaja berbuat dosa atau maksiat maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadapnya atas perbuatan memakannya itu lagi Maha Pengasih kepadanya dalam memperbolehkannya. Berbeda halnya dengan orang yang cenderung atau sengaja berbuat dosa, misalnya penyamun atau pemberontak, maka tidak halal baginya memakan Swt. memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya melalui kali­mat berita ini yang di dalamnya terkandung larangan memakan bang­kai-bangkai yang diharamkan. Yaitu hewan yang mati dengan sendiri­nya tanpa melalui proses penyembelihan, juga tanpa melalui proses pemburuan. Hal ini tidak sekali-kali diharamkan, melainkan karena padanya terkandung mudarat bahaya, mengingat darah pada hewan-hewan tersebut masih tersekap di dalam tubuhnya, hal ini berbahaya bagi agama dan tubuh. Untuk itulah maka Allah dikecualikan dari bangkai tersebut yaitu ikan, karena ikan tetap halal, baik mati karena disembelih ataupun karena penyebab lainnya. Hal ini berdasarkan kepada apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta '-nya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad di dalam kitab musnad masing-masing, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, Imam Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnah mereka, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahih masing-masing, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. per­nah ditanya mengenai air laut. Maka beliau Saw. menjawabLaut itu airnya suci dan menyucikan lagi halal yang sama dikatakan terhadap belalang yakni bangkainya, me­nurut hadis yang akan dikemukakan berikutnya. Firman Allah Swt....dan dimaksud dengan darah ialah darah yang dialirkan. Sama pe­ngertiannya dengan ayat lain, yaitu firman-Nyaatau darah yang mengalir. Al An'am145Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab Al-Mizhaji, telah menceritakan kepada kami Mu­hammad ibnu Sa'id ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Amr yakni Ibnu Qais, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bah­wa ia pernah ditanya mengenai limpa. Maka ia menjawab, "Makanlah limpa itu oleh kalian." Mereka berkata, 'Tetapi limpa itu adalah da­rah?" Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya yang diharamkan atas kalian itu hanyalah darah yang mengalir."Abu Abdullah Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar secara marfu’ bahwa Ra­sulullah Saw. telah bersabda Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua jenis darah yaitu hati dan ibnu Bilal —salah seorang yang dinilai Sabat kuat— telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam, dari Ibnu Umar secara mauauf hanya sampai pada Ibnu Umar menurut sebagian dari mereka. Menurut Abu Zar'ah Ar-Razi, yang mengatakan mauquf lebih Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Abusy Syawarib, telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Syuraih, dari Abu Galib, dari Abu Umamah yaitu Sada ibnu Ajlan yang menceritakan, "Rasulullah Saw. pernah mengutusku kepada suatu kaum untuk menyeru mereka kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengajarkan kepada mereka syariat Islam. Lalu aku datang kepada mereka. Ketika kami sedang bertugas, tiba-tiba mereka datang membawa sepanci darah yang telah dimasak manis, kemudian me­reka mengerumuninya dan menyantapnya. Mereka berkata, 'Kemarilah hai Sada, makanlah bersama kami'." Sada berkata, "Celakalah kalian, sesungguhnya aku datang kepa­da kalian dari seseorang Nabi yang mengharamkan makanan ini atas kalian, maka terimalah larangan darinya ini." Mereka bertanya, "Apa­kah hal yang melarangnya?" Maka aku Sada membacakan kepada mereka ayat ini, yaitu firman-NyaDiharamkan bagi kalian memakan bangkai dan darah., hingga akhir ayat. Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui hadis Ibnu Abusy Syawarib berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal. Ia menambahkan sesudah konteks ini bahwa Sada melanjutkan kisah­nya, "Maka aku bangkit mengajak mereka untuk masuk Islam, tetapi mereka membangkang terhadapku, lalu aku berkata, 'Celakalah kalian ini, berilah aku air minum, karena sesungguhnya aku sangat haus.' Saat itu aku memakai jubah 'abayah-ku. Mereka menjawab, 'Kami ti­dak mau memberimu air minum dan kami akan biarkan kamu hingga mati kehausan.' Maka aku menderita karena kehausan, lalu aku tutupkan kain 'abayah-ku ke kepalaku dan tidur di padang pasir di panas yang sangat terik. Dalam tidurku aku bermimpi kedatangan se­seorang yang datang membawa sebuah wadah dari kaca yang sangat indah dan belum pernah dilihat oleh manusia. Di dalam wadah itu ter­dapat minuman yang manusia belum pernah merasakan minuman yang selezat itu. Lalu orang tersebut menyuguhkan minuman itu ke­padaku dan aku langsung meminumnya. Setelah selesai minum, aku terbangun. Demi Allah, aku tidak merasa kehausan lagi dan tidak per­nah telanjang tidak berpakaian lagi sesudah mereguk minuman ter­sebut."Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dari Ali ibnu Hammad, dari Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, te­lah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Salamah ibnu Ayyasy Al-Amiri, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Haram, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadis yang semi­sal. Menurut riwayat ini ditambahkan sesudah kalimat "sesudah me­reguk minuman tersebut" hal berikut, yaitu "Maka aku Sada men­dengar mereka mengatakan, 'Orang yang datang kepada kalian ini da­ri kalangan orang hartawan kalian. Mengapa kalian tidak menyuguh­kan minuman susu dan air kepadanya?" Maka mereka menyuguhkan minuman air susu yang dicampur dengan air, dan aku katakan kepada mereka, 'Aku tidak memerlukannya lagi. Sesungguhnya Allah telah memberiku makan dan minum.’ lalu aku perlihatkan kepada mereka perutku, hingga semuanya percaya bahwa aku telah kenyang."Firman Allah Swt....dan daging baik yang jinak maupun yang liar. Pengertian lahm mencakup semua bagian tubuh babi, hingga lemaknya. Dalam hal ini tidak di­perlukan pemahaman yang 'sok pintar' dari kalangan mazhab Zahiri dalam kestatisan mereka menanggapi ayat ini dan pandangan mereka yang keliru dalam memahami makna firman-Nya—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang. Al An'am145Dalam konteks firman-Nyakecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi —karena sesungguhnya semuanya itu kotor— Al An'am145Mereka merujukkan damir yang ada pada lafaz fainnahu kepada lafaz khinzir dengan maksud agar mencakup semua bagian tubuhnya. Pada­hal pemahaman ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah ba­hasa, karena sesungguhnya damir itu tidak dapat dirujuk kecuali ke­pada mudaf, bukan pengertian lahiriah, kata daging’ mempunyai pengertian yang mencakup semua anggota tubuh dalam terminologi bahasa, juga menurut pengertian tradisi yang dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Buraidah ibnul Khasib Al-Aslami yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabdaBarang siapa yang bermain nartsyir karambol, maka seakan-akan mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah kata lain, bilamana peringatan ini hanya sekadar menyentuh, maka dapat dibayangkan kerasnya ancaman dan larangan bila mema­kan dan menyantapnya. Di dalam hadis ini terkandung makna yang menunjukkan mencakup pengertian daging terhadap semua anggota tubuh, termasuk lemak dan dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah Saw. per­nah bersabdaSesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr. bangkai, daging babi, dan berhala. Maka diajukan pertanyaan, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah menu­rutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai sebagai dempul untuk melapisi perahu dan dijadikan sebagai minyak untuk kulit serta dipakai sebagai minyak lampu penerangan oleh orang-orang," Rasulullah Saw. menjawab Jangan, itu tetap dalam kitab Sahih Bukhari melalui hadis Abu Sufyan disebutkan bahwa Abu Sufyan mengatakan kepada Heraklius, Raja Romawi, "Beliau Nabi Saw. melarang kami memakan bangkai dan darah." Firman Allah Swt....dan daging hewan yang disembelih atas nama selain hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, hewan tersebut menjadi haram. Karena Allah Swt mengharuskan bila makhluk-Nya disembelih agar disebut asma-Nya Yang karena itu, manakala hal ini disimpangkan diselewengkan dan disebutkan pada hewan tersebut nama selain Allah ketika hendak me­nyembelihnya, misalnya nama berhala atau tagut atau wasan atau makhluk lainnya, maka sembelihan itu hukumnya haram menurut ke­sepakatan ulama hanya berselisih pendapat mengenai tidak membaca tasmiyah Basmalah dengan sengaja atau lupa, seperti yang akan di­terangkan nanti dalam tafsir surat Al-An' bahwa telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Mas-'adah, dari Auf, dari Abu Raihanah, dari Ibnu Abbas yang mengata­kan Rasulullah Saw. melarang memakan daging dari pertandingan orang-orang Badui menyembelih ternak Imam Abu Daud mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ja'far yaitu Gundar me-mauquf-kan hadis ini pada Ibnu Abbas. Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu Daud secara Abu Daud mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Zaid ibnu Abuz Zarqa, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Az-Zubair ibnu Hurayyis yang mengatakan bahwa ia pernah mende­ngar Ikrimah mengatakan Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang memakan makanan hasil pertandingan menyembelih yang dilakukan oleh orang-orang yang Abu Daud mengatakan bahwa kebanyakan orang yang meriwayatkannya selain Ibnu Jarir tidak menyebutkan pada sanad­nya nama Ibnu Abbas. Hadis ini diriwayatkan secara munfarid pula. Firman Allah Swt....dan hewan yang hewan ternak yang mati tercekik, baik disengaja ataupun karena kecelakaan, misalnya tali pengikatnya mencekiknya karena ulahnya sendiri hingga ia mati, maka hewan ini haram lafaz mauquzah artinya hewan yang mati dipukuli dengan benda berat, tetapi tidak tajam. Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, mauauzah ialah hewan yang dipukuli de­ngan kayu hingga sekarat, lalu mengatakan, orang-orang Jahiliah biasa memukuli hewannya dengan tongkat sampai mati, lalu mereka dalam kitab sahih disebutkan bahwa Addi ibnu Hatim pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membidik hewan bu­ruan dengan lembing dan mengenainya." Rasulullah Saw. bersabdaApabila kamu melempar buruan dengan lembingmu, lalu menu­suknya, maka makanlah. Jika yang mengenainya adalah bagian sampingnya, sesungguhnya hewan buruan itu mati terpukul, maka janganlah kamu hal ini dibedakan antara sasaran yang dikenai oleh anak panah dan tombak serta sejenisnya, yakni dengan bagian yang tajamnya, maka hukumnya halal. Sedangkan hewan yang dikenai oleh bagian sampingnya maka hewan itu dihukumi mati karena terpukul, sehingga tidak halal. Demikianlah yang disepakati di kalangan ulama fiqih."Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan bersua dengan musuh besok, sedangkan kami tidak mempunyai pisau. Bolehkah kami menyembelih dengan aasab welat bambu'?" Rasulullah Saw. menjawab Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan asma Allah ketika menyembelihnya, maka makanlah sembelihan itu oleh secara lengkapnya terdapat di dalam kitab ini sekalipun dinyatakan karena penyebab yang khusus, tetapi hal yang dianggap ialah keumuman lafaznya menurut jumhur ulama usul dan ulama fiqih. Perihalnya sama dengan suatu pertanyaan yang pernah diajukan kepada Nabi Saw. mengenai al-bit'u, yaitu mi­numan nabiz yang terbuat dari madu. Beliau Saw. menjawab melalui sabdanyaSemua jenis minuman yang memabukkan hukumnya adakah seorang ahli fiqih yang mengatakan bahwa lafaz ini hanya khusus berkaitan dengan minuman madu? Perihalnya sama saja ketika mereka bertanya kepada Nabi Saw. tentang suatu sembelihan. Beliau menjawab mereka dengan kata-kata yang mengandung makna umum yang membuat si penanya —juga yang lainnya— berpikir mencernanya, mengingat Nabi Saw. telah dianugerahi jawami'ul hal ini telah jelas, maka binatang buruan yang ditabrak oleh anjing pemburu atau yang ditindihinya dengan berat badannya hingga mati bukan termasuk hewan yang dialirkan darahnya. Ka­rena itu, hewan buruan tersebut tidak halal. Demikianlah makna yang terkandung di dalam hadis dikatakan bahwa hadis yang dimaksud sama sekali bukan termasuk ke dalam bab ini, karena mereka menanyakan kepada Nabi Saw. tentang alat yang dipakai untuk menyembelih, dan mereka tidak menanyakan tentang sesuatu yang disembelih. Karena itulah di­kecualikan dari alat tersebut gigi dan kuku. Hal ini diungkapkan me­lalui sabdanyaTidak boleh memakai gigi dan kuku, aku akan menceritakan ke­pada kalian mengenainya. Adapun gigi berasal dari tulang, dan kuku adalah pisau orang-orang mustasna menunjukkan jenis dari mustasha minhu. Jika ti­dak demikian, berarti tidak muttasil berkaitan. Dengan demikian, maka hal ini menunjukkan bahwa yang ditanyakan adalah alatnya, se­hingga tidak ada dalil bagi apa yang Anda jawabannya dapat dikatakan bahwa di dalam alasan yang Anda kemukakan terkandung hal yang sulit Anda cerna, mengingat sabda Nabi Saw. mengatakanAlat apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan as­ma Allah padanya, maka makanlah oleh kalian sembelihan hadis ini tidak disebutkan, "Maka sembelihlah hewan itu de­ngan alat tersebut." Dengan demikian, berarti dari hadis ini dapat disimpulkan dua hukum sekaligus, yaitu mengenai hukum alat yang dipakai untuk menyembelih dan hukum hewan yang disembelih, darah­nya harus dialirkan dengan alat yang bukan berupa gigi, bukan pula kuku. Ini adalah suatu yang kedua menurut cara Al-Muzanni, yaitu masalah anak panah dijelaskan padanya, bahwa jika binatang buruan terkena bagian sampingnya kayunya, tidak boleh dimakan, jika tertembus oleh anak panahnya, boleh dimakan. Sedangkan dalam masalah an­jing pemburu disebutkan secara mudak, karena itu masalahnya diin­terpretasikan dengan rincian yang ada pada masalah anak panah, yaitu yang menembus sasarannya. Karena kedua masalah tersebut mempu­nyai persamaan pada subyeknya, yaitu binatang buruan, untuk itulah wajib dalam masalah ini disamakan dengan masalah anak panah, se­kalipun penyebabnya berbeda. Perihalnya sama dengan wajib meng­artikan mutlaknya merdeka dalam masalah zihar terhadap masalah keterikatan merdeka dengan sumpah dalam masalah pembunuhan. Bahkan dalam masalah yang sedang kita bahas ini lebih utama, hal ini akan dimengerti oleh orang yang memahami kaidah asal pokok mengenainya secara apa adanya. Kaidah ini tiada yang memperselisihkannya di antara para ulama yang bersangkutan secara menyelu­ruh. Sudah merupakan suatu keharusan bagi mereka menanggapi ma­salah ini. Seseorang boleh mengatakan bahwa hewan buruan ini dibu­nuh oleh anjing pemburu dengan berat badannya, maka hewan buruan ini tidak halal karena dikiaskan kepada masalah hewan buruan yang terbunuh oleh bagian samping anak panah yakni terpukul olehnya. Kesamaan yang ada dalam kedua masalah ialah masing-masing dari keduanya menggunakan alat berburu, sedangkan binatang buruan ma­ti karena beratnya alat dalam masing-masing kasus. Hal ini tidak ber­tentangan dengan keumuman makna ayat mengenainya, karena kias didahulukan atas keumuman makna, seperti yang dianut oleh mazhab para imam yang empat dan jumhur ulama. Analisis ini dinilai baik lainnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang me­ngatakanMaka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian. Al Maidah4Mengandung makna yang umum mencakup hewan buruan yang mati karena luka atau lainnya. Tetapi hewan yang terbunuh dengan cara tersebut dan masih diperselisihkan kehalalannya, tidak terlepas adaka­lanya mati karena tertanduk atau cara lain yang sama hukumnya, atau tercekik, atau cara lain yang sama keadaan bagaimanapun wajib memprioritaskan ayat ini atas dalil-dalil lainnya, karena alasan-alasan berikutPertama, Pentasyri' menetapkan hukum ayat ini dalam kasus perburuan. yaitu ketika beliau mengatakan kepada Addi ibnu Hatim, Dan Jika hewan buruan itu terkena oleh bagian sampingnya, sesungguhnya hewan itu sama dengan mati karena terpukul. Maka janganlah kamu memakannya!"Kami belum pernah mengetahui ada seorang ulama yang memi­sahkan antara suatu hukum dengan hukum ayat ini, lalu ia mengata­kan bahwa sesungguhnya hewan yang mati terpukul dapat dimakan bila merupakan hasil dari perburuan, sedangkan kalau yang tertanduk tidak dapat dimakan. Dengan demikian, berarti pendapat memboleh­kan hal yang diperselisihkan kehalalannya melanggar kesepakatan ijma', bukan sebagai orang yang mendukung ijma', dan hal ini dila­rang menurut kebanyakan bahwa firman-Nya yang mengatakanMaka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk mengandung makna yang umum secara ijma', melainkan di­khususkan bagi hewan buruan yang dapat dimakan dagingnya. Dike­cualikan dari keumuman makna lafaznya hewan yang tidak boleh di­makan, menurut kesepakatan ulama. Sedangkan pengertian umum yang telah dikenal harus lebih didahulukan daripada yang tidak di­ lain mengatakan bahwa binatang buruan seperti itu sama hukumnya dengan bangkai, karena darahnya tertahan, begitu pula cairan lainnya yang mengikutinya, maka hukumnya tidak halal karena dikiaskan kepada lainnya mengatakan bahwa ayat tahrim yang mengata­kanDiharamkan bagi kalian bangkai., hingga akhir ayatbersifat muhkam, tidak ada nasakh, dan tidak ada takhsis yang mema­sukinya. Demikian juga selayaknya ayat tahlil bersifat muhkam pula. Yang dimaksud dengan ayat tahlil ialah firman Allah Swt.Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." Al Maidah4, hingga akhir selayaknya tidak boleh ada pertentangan di antara keduanya secara mendasar, dan datanglah peran sunnah yang menjelaskan hal buktinya ialah disebutkan dalam kisah berburu memakai anak panah hukum yang termasuk ke dalam makna ayat ini, yaitu bila hewan buruan tersebut tertembus oleh anak panah, maka hukumnya halal karena termasuk ke dalam pengertian tayyibat yang baik-baik. Sedangkan dalam waktu yang sama ada pula pada hadis ini pengerti­an yang termasuk ke dalam hukum ayat tahrim. Yaitu bilamana he­wan buruan mati terkena bagian sampingnya, maka ia tidak boleh dimakan, karena sama saja dengan mati terpukul. Dengan demikian, masalahnya termasuk ke dalam salah satu dari rincian makna ayat pula sudah seharusnya disamakan hukum hewan buru­an yang dilukai oleh anjing pemburu, maka hewan buruan tersebut termasuk ke dalam hukum ayat tahlil. Jika tidak dilukai, melainkan ditabrak —atau binatang buruan mati karena tertanduk— atau hal lainnya yang sama hukumnya, maka hewan buruan tersebut tidak ditanyakan, "Mengapa tidak ada rincian dalam hukum ber­buru memakai anjing pemburu? Tetapi menurut kalian, bila hewan buruan dilukai, hukumnya halal, dan bila tidak dilukai, hukumnya haram?"Sebagai jawabannya dapat dikatakan bahwa hal tersebut jarang, mengingat anjing pemburu selalu membunuh hewan buruannya de­ngan kuku atau dengan taring atau dengan keduanya. Sedangkan de­raan cara menabrak hewan buruannya, hal ini jarang sekali terjadi. Jarang pula terjadi anjing pemburu membunuh hewan buruannya dengan menindihnya. Karena itu, tidak diperlukan adanya pengecualian hal seperti itu, mengingat kejadiannya sangat langka. Atau memang masalahnya sudah jelas hukumnya bagi orang yang mengetahui ha­ramnya bangkai, hewan yang mati tercekik, hewan yang mati terpu­kul, hewan yang mati jatuh dari ketinggian, dan hewan yang mati ka­rena tertanduk. Mengenai masalah berburu memakai anak panah tombak, ada­kalanya si pelempar pemburu melenceng bidikannya karena kurang pandai atau sengaja bermain-main atau karena lain-lainnya, bahkan kelirunya lebih banyak daripada mengenai buruannya. Karena itulah masing-masing hukumnya disebutkan secara itulah anjing pemburu itu adakalanya memakan sebagian binatang buruannya. Maka disebutkan hukumnya secara rinci, yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari binatang buruannya. Untuk itu Nabi Saw. bersabdaJika anjing itu memakannya, maka janganlah kamu makan, kare­na sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjing itu menang­kap buruan untuk dirinya sendiri bukan untuk tuan yang mele­paskannya.Hadis ini sahih dan terdapat di dalam kitab Sahihain. Hukum yang di­sebutkan dalam hadis ini pun merupakan takhsis dari keumuman makna ayat tahlil menurut kebanyakan ulama. Mereka mengatakan, tidak halal hasil buruan yang anjing pemburunya memakannya. De­mikian riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Asy-Sya'bi, dan An-Nakha'i. Pendapat ini pulalah yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah dan kedua temannya, juga Imam Ahmad ibnu Hambal dan Imam Syafii menurut pendapat yang terkenal Jarir meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya, dari Ali, Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah, Ibnu Umar serta Ibnu Abbas radhiyallahu anhum, bahwa binatang buruan boleh dimakan sekalipun anjing pem­burunya memakan sebagian darinya. Hingga Sa'id, Salman, dan Abu Hurairah serta lain-lainnya mengatakan bahwa hewan buruan masih boleh dimakan sekalipun tiada yang tersisa kecuali hanya sepotong daging ini dipegang oleh Imam Malik, dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan masalah ini. Tetapi dalam qaul jadid-nya. hanya mengisyaratkan kepada dua pendapat Demikian itu kata Imam Abu Nasr ibnu Sabbag dan lain-lainnya dari kalangan teman-teman­nya. Imam Abu Daud telah meriwayatkan dalam pendapatnya yang didasari dengan hadis yang bersanadkan jayyid lagi kuat dari Abu Sa'labah Al-Khusyani, dari Rasulullah Saw. Disebutkan bahwa Ra­sulullah Saw. pernah bersabda mengenai anjing pemburuApabila kamu melepaskan anjing pemburumu dan kamu menye­butkan nama Allah, maka makanlah hasil buruannya, sekalipun anjingmu memakan sebagian darinya, dan makan pulalah apa yang kamu tarik dengan Nasai meriwayatkannya pula melalui hadis Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Arab Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah bertanya.”Wahai Rasulullah," lalu ia me­nyebutkan hadis yang ibnu Jarir mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah men­ceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa yaitu Al-Lahuni, te­lah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar yakni At-Tahii. dari Abu Iyas yaitu Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah Saw. yang telah bersabda Bilamana seorang lelaki melepaskan anjing pemburunya terha­dap hewan buruan, lalu anjing dapat menangkapnya dan mema­kan sebagian dari hewan buruannya, maka hendaklah ia mema­kan sisanya. Kemudian Ibnu Jarir menganalisis hadis ini, bahwa hadis ini telah di­riwayatkan oleh Qatadah dan lain-lainnya, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman secara pendapat jumhur ulama, mereka mendahulukan hadis Addi atas hadis ini, dan mereka menganggap daif hadis Abu Sa'labah dan sebagian ulama ada yang mengulasnya, jika anjing pem­buru memakan hewan buruannya sesudah lama menunggu tuannya dan ternyata masih belum datang juga, lalu ia memakannya karena la­par dan faktor lainnya, maka hewan buruan tersebut hukumnya tidak mengapa halal, demikianlah rinciannya secara panjang lebar. Kare­na dalam keadaan seperti itu tidak dikhawatirkan bahwa anjing terse­but menangkap hewan buruannya hanya untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika anjing pemburu memakannya begitu dia menangkap he­wan buruannya, dalam keadaan seperti ini tampak jelas bahwa dia menangkap hewan buruan itu untuk dirinya burung-burung pemangsa —menurut nas Imam Syafii— sama hukumnya dengan anjing pemburu. Dengan kata lain. haram hukumnya bila ia memakannya, menurut jumhur ulama, dan tidak haram, menurut ulama dari kalangan teman kami memilih pendapat yang mengatakan tidak haram memakan hasil buruan burung pemangsa yang telah dimakan sebagiannya oleh burung yang memangsanya dan hewan pemburu lainnya. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa dikata­kan demikian karena tidak mungkin mengajari burung pemangsa seperti mengajari anjing pemburu, misalnya memakai sarana pemukul dan sarana lainnya yang digunakan untuk mengajari anjing. Lagi pula burung pemangsa yang dijadikan hewan pemburu tidak mengetahui melainkan dia memakan sebagian dari binatang buruannya, karena itu keadaannya dimaafkan. Nas yang ada hanyalah menyebutkan rincian tentang anjing pemburu, bukan burung Abu Ali mengatakan di dalam kitab Ifsah-nya, jika kita katakan haram memakan hewan buruan yang telah dimakan oleh an­jing pemburu sebagiannya, maka dalam masalah hewan buruan yang dimakan oleh burung pemburu ada dua pendapat. Tetapi Abut Tayyib Al-Qadi menolak adanya rincian dan urutan ini pada nas Imam Syafii yang menunjukkan adanya persamaan di antara dimaksud dengan mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari ketinggian atau tempat yang tinggi, lalu mati, hukumnya tidak ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh dari atas mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang jatuh ke dalam mengatakan bahwa mutaraddiyah ialah hewan yang ja­tuh dari bukit atau terperosok ke dalam sumur yang dalam, lalu artinya hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya, maka hewan ini haram hukumnya, sekalipun terluka oleh tanduk dan darahnya keluar, sekalipun dari bagian ber-wazan fa'ilah. sedangkan maknanya maf'ulah,yakni hewan yang ditanduk. Bentuk lafaz ini kebanyakan di ka­langan orang-orang Arab dalam pemakaiannya tidak memakai huruf ta ta-nis. mereka mengucapkannya 'ainun kahllun mata yang bercelak, kaffun khadibun tangan yang memakai pacar. Mereka tidak mengucapkannya kaffun khadibah, tidak pula 'ainun kahilah. Dalam lafaz ini sebagian kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa sesung­guhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini tiada lain karena dikategorikan ke dalam isim, sama halnya dengan perkataan mereka tariqa-tun tawilah jalan yang panjang.Sebagian lain dari kalangan ahli Nahwu mengatakan bahwa se­sungguhnya pemakaian ta ta-nis dalam lafaz ini hanyalah untuk me­nunjukkan arti ta-nis sejak pemakaian semula, lain halnya dengan lafaz 'ainun kahilun dan kaffun khadibun, karena ta ta-nis telah dime­ngerti dari permulaan Allah Swt....dan yang diterkam binatang hewan yang diterkam oleh singa atau harimau atau macan tutul atau oleh serigala atau oleh anjing liar, lalu dimakan sebagiannya dan mati, maka hewan tersebut haram hukumnya, sekalipun telah mengalir darahnya, dan yang dilukai pada bagian penyembelihannya, hukumnya tetap tidak halal menurut orang-orang Jahiliah memakan lebihan dari apa yang dimangsa oleh binatang pemangsa, baik yang dimangsa itu kambing, atau unta atau sapi atau ternak lainnya. Kemudian Allah Swt. meng­haramkan hal itu bagi kaum Allah Swt....kecuali yang sempat kalian menyembelihnya,Istisna dalam lafaz ayat ini kembali kepada apa yang mungkin pe­ngembaliannya dari hal-hal yang telah ditetapkan menjadi penyebab kematiannya, lalu sempat ditanggulangi dengan menyembelihnya, se­dangkan hewan yang dimaksud masih dalam keadaan hidup yang sta­bil. Tempat kembali dari istisna ini tiada lain hanyalah pada firman-Nyahewan yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang ibnu AbuTalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya...Kecuali yang sempat kalian menyembelihnya., Yakni kecuali hewan-hewan tersebut yang kalian sempat menyem­belihnya, sedangkan pada tubuhnya masih terdapat rohnya. Maka ma­kanlah oleh kalian, karena hewan tersebut sama hukumnya dengan yang disembelih. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan Al-Basri, dan Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali sehubungan dengan ayat ini, bahwa jika hewan yang dimaksud masih menggerak-gerakkan telinganya, atau menendang-nendang dengan kakinya atau matanya masih melirik-lirik saat kalian menyembelihnya, maka makanlah hewan Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah mencerita­kan kepada kami Hasyim dan Abbad, keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Husain, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan, "Jika hewan yang dipukul, yang jatuh, dan yang ditanduk masih sempat disembelih dalam keada­an masih sempat menggerak-gerakkan kaki depan atau kaki belakang­nya, maka makanlah hewan tersebut."Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya ten­tang kambing yang dirobek tubuhnya oleh binatang pemangsa hingga ususnya keluar. Imam Malik menjawab, "Menurut pendapatku, kam­bing tersebut tidak boleh disembelih, apakah manfaat penyembelihan dari kambing yang keadaannya sudah demikian?"Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya menge­nai masalah dubuk yang menerkam domba dan mematahkan pung­gungnya, "Apakah domba itu boleh disembelih sebelum ia mati, lalu dimakan?"Hai orang-orang yang beriman, diharamkan bagi kalian memakan daging bangkai binatang yang mati dengan tidak disembelih, darah yang mengalir, daging babi, binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, binatang yang mati tercekik, binatang yang mati dipukul, binatang yang mati karena jatuh, binatang yang mati ditanduk oleh binatang lain, dan binatang yang mati dimakan binatang buas. Tetapi jika binatang itu masih hidup dan halal untuk dimakan, lalu kamu menyembelihnya, maka binatang itu halal. Allah mengharamkan kepada kalian binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada berhala, mengetahui sesuatu yang telah ditentukan di alam gaib dengan cara undian dengan melempar anak panah. Memakan makanan yang telah diharamkan Allah itu adalah dosa besar dan merupakan sikap tidak patuh kepada Allah. Mulai sekarang telah pupus harapan orang kafir untuk menghapus agama kalian. Maka, jangan khawatir mereka akan dapat menguasai kalian, dan jangan berani melanggar perintah-Ku. Hari ini Aku sempurnakan hukum-hukum agama, Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kalian dengan memberikan kejayaan dan menguatkan pendirian kalian, dan Aku jadikan Islam sebagai agama kalian. Barangsiapa terpaksa memakan makanan yang diharamkan Allah karena alasan lapar dan demi mempertahankan diri dari kematian, dengan tidak cenderung berbuat maksiat, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni orang yang terpaksa atas makanan yang dimakannya demi mempertahankan hidup. Allah Maha Penyayang kepadanya dalam hal-hal lain yang dibolehkan1. 1 Kematian binatang dapat disebabkan oleh ketuaan, penyakit organik, parasit, atau karena terkena racun luar yang, dengan sendirinya, mengakibatkan daging binatang itu mengandung zat yang membahayakan pemakannya. Lebih dari itu, binatang yang mati bukan karena disembelih, darahnya akan mengalami pemacetan. Keadaan seperti itu dapat berlangsung lama dan sulit diketahui dengan pasti, sehingga dapat mengakibatkan disolusi dan kerusakan. Darah merupakan saluran yang mengandung seluruh zat metabolis asimilasi yang sebagiannya bermanfaat dan yang lain berbahaya. Zat yang membahayakan itu dapat merusak anggota tubuh yang dapat menghilangkan dan mengeluarkan racun yang ada dalam tubuh. Selain itu, di dalam darah juga terdapat racun yang dikeluarkan oleh hewan-hewan parasit dalam tubuh. Di antara hewan parasit yang hidup dalam tubuh manusia itu banyak yang melalui beberapa fase, ada yang panjang dan ada juga yang pendek. Karena alasan-alasan itulah, terutama, memakan darah diharamkan. Sedangkan babi merupakan binatang yang mudah terserang hewan parasit yang menyerang tubuh manusia seperti berbagai virus, sporadis, leptoseri dan protozoa, cacing pipih dan cacing gelang. Di antara parasit yang paling berbahaya adalah a. Hewan ciliata yang diberi nama antidium-colay yang dapat menyebabkan disentri plantidi yang ganasnya sama dengan disentri amuba. Sumber satu-satunya penyakit ini adalah babi. Penyakit ini hanya akan menyerang orang yang memelihara dan menyembelih serta menjual-beli danging babi. b. Gelendong hati dan usus yang berjangkit di negara-negara Timur Jauh, khususnya gelendong usus besar yang banyak menyebar di Cina, gelendong usus kecil yang banyak berjangkit di Bangladesh, Burma dan Asam, dan gelendong hati yang banyak tersebar di Cina, Jepang dan Korea. Nah, babi merupakan binatang yang banyak menyimpan parasit-parasit ini. Oleh karena itu, pembasmian penyakit yang diakibatkan oleh parasit-parasit ini tidak dapat dilakukan hanya pada manusia penderita, tetapi juga harus sampai kepada sumber asalnya babi. c. Cacing pita yang ada dalam tubuh babi. Sel telur cacing ini berpindah dari manusia kepada babi yang melahirkan cacing ganda dalam daging babi. Cacing itu kemudian berpindah lagi kepada manusia yang memakan daging babi dan cacing pita yang hidup dan berkembang di dalam usus. Pada dasarnya penyakit ini tidak begitu berbahaya, karena hampir sama dengan cacing pita yang terdapat dalam daging sapi. Tetapi cacing pita yang terdapat dalam daging babi sangat berbeda dengan cacing pita yang ada dalam daging sapi. Apabila sel telur cacing itu tertelan oleh manusia melalui tangannya yang kotor, atau melalui makanan yang kotor, atau apabila ia memotong bagian cacing yang mengandung telur, atau memotong telur cacing dari ususnya hingga telur itu pecah dan larvanya mengena bagian otot yang bersangkutan, maka hal itu kemungkinan besar menyebabkan kematian apabila menyerang otak, urat saraf, atau hati dan organ penting lainnya. Penyakit berbahaya seperti ini hampir tidak kita dapatkan di negara-negara Islam, karena Islam telah mengharamkan memakan daging babi. d. Cacing berbentuk spiral. Terjangkitnya seseorang dengan cacing spiral yang larvanya berceceran pada otot-ototnya akan menyebabkan penyakit yang sangat berbahaya, seperti rematik, sulit mengunyah dan bernafas serta menggerakkan mata, radang otak dan jaringan urat saraf serta radang selaput otak. Penyakit urat saraf dan otak yang menyebabkan keracunan, stress dan komplikasi. Jika seseorang terkena penyakit yang mematikan ini, ia akan meninggal dunia dalam jangka waktu antara empat sampai enam minggu. Dan babi adalah penyebab utamanya. Penyakit ini banyak menyebar di Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Selatan. Sedangkan di dunia Islam, alhamdulillah, penyakit seperti ini tidak banyak berjangkit. Usaha untuk mencegah berjangkitnya penyakit ini dilakukan dengan cara memelihara babi secara sehat dan pengobatan secara medis terhadap daging babi. Tetapi itu semua tidak membuahkan hasil. Sebagai contoh, Amerika Serikat adalah salah satu dari tiga negara terbesar di dunia yang terjangkit penyakit ini, mencapai 16%. Jumlah ini sangat jauh dari yang sebenarnya. Di negara-negara bagian Amerika Serikat persentase berjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh babi ini berkisar antara 5%-27%. Selain itu, lemak minyak babi sangat berbeda dengan minyak nabati dan lemak hewani lainnya. Oleh karena itu, kelayakan daging babi untuk digunakan sebagai bahan makanan sangat diragukan sebagian besar ahli. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Ram, seorang ahli kimia dari Denmark yang memperoleh hadiah nobel, bahwa seseorang tidak boleh banyak mengkonsumsi minyak babi karena akan menyebabkan penyakit empedu dan menutupi salurannya, pengerasan urat nadi dan penyakit jantung. Perlu disebutkan di sini bahwa jumhûr mayoritas ahli hukum Islam mengartikan kata "lahm" sebagai 'daging', termasuk 'lemak'. Sedangkan soal hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, dan hewan yang yang disembelih dengan nama berhala, berkaitan dengan persoalan ibadah. Sedang hewan yang mati tercekik, terpukul, mati ditanduk dan diterkam binatang buas, mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan bangkai, meskipun sebab kematiannya oleh Ibnu Mandah di dalam kitab ash-Shahaabah, dari Abdullah bin Jabalah bin Hibban bin Hajar, dari bapaknya, yang bersumber dari datuknya hibban bin Hajar bahwa ketika Hibban sedang menggodok daging bangkai, Rasulullah saw. ada bersamanya. Maka turunlah ayat ini al-Maaidah 3 yang mengharamkan bangkai. Seketika itu juga isi panci itu dibuang.
Suchas ignoring the rules of nahwu, asbabun nuzul, using dhaif hadith and israiliyat stories as hujjah. In addition to the interpreters also interpreting the verses is motivated by certain interests and fanaticism towards schools, sects and others. Al-Maidah: 44 Berdasarkan ayat tersebut di atas mereka mengatakan bahwa setiap orang yang
On April 23, 2022 Views 5 Alyazea Amanda Latin dan Terjemahan Surat Al Ma’idah Ayat 32 مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ Min ajli żālika katabnā alā banī isrā`īla annahụ mang qatala nafsam bigairi nafsin au fasādin fil-arḍi fa ka`annamā qatalan-nāsa jamī’ā, wa man aḥyāhā fa ka`annamā aḥyan-nāsa jamī’ā, wa laqad jā`at-hum rusulunā bil-bayyināti ṡumma inna kaṡīram min-hum ba’da żālika fil-arḍi lamusrifụn Artinya Oleh karena itu Kami tetapkan suatu hukum bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. Asbabun Nuzul Surat Al Ma’idah Ayat 32 Belum ditemukan asbabun nuzul dari ayat ini Tafsir Kementrian Agama Republik Indonesia Surat Al Ma’idah Ayat 32 Pembunuhan yang dilakukan Qabil ini ternyata berdampak panjang bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, kemudian Kami tetapkan suatu hukum bagi Bani Israil, dan juga bagi seluruh masyarakat manusia, bahwa barang siapa membunuh seseorang tanpa alasan yang dapat dibenarkan, dan bukan pula karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka dengan perbuatannya itu seakan-akan dia telah membunuh semua manusia, karena telah mendorong manusia lain untuk saling membunuh. Sebaliknya, barang siapa yang siap untuk memelihara dan menyelamatkan kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan, dengan perilakunya itu, dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya, untuk menjelaskan ketetapan ini, Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas untuk mereka dan juga semua manusia sesudahnya. Tetapi kemudian banyak di antara manusia yang tidak memperhatikan dan melaksanakannya, sehingga mereka setelah itu bersikap melampaui batas dan melakukan kerusakan di bumi dengan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya. Pada ayat ini diterangkan suatu ketentuan bahwa membunuh seorang manusia berarti membunuh semua manusia, sebagaimana memelihara kehidupan seorang manusia berarti memelihara kehidupan semua manusia. Ayat ini menunjukkan keharusan adanya kesatuan umat dan kewajiban mereka masing-masing terhadap yang lain, yaitu harus menjaga keselamatan hidup dan kehidupan bersama dan menjauhi hal-hal yang membahayakan orang lain. Hal ini dapat dirasakan karena kebutuhan setiap manusia tidak dapat dipenuhinya sendiri, sehingga mereka sangat memerlukan tolong- menolong terutama hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sesungguhnya orang-orang Bani Israil telah demikian banyak kedatangan para rasul dengan membawa keterangan yang jelas, tetapi banyak di antara mereka itu yang melampaui batas ketentuan dengan berbuat kerusakan di muka bumi. Akhirnya mereka kehilangan kehormatan, kekayaan dan kekuasaan yang kesemuanya itu pernah mereka miliki di masa lampau. Sumber Tafsir Kementrian Agama Republik Indonesia Versi Online

SuratAl Maidah adalah surat kelima dalam Alquran. Al Maidah termasuk golongan surat Madaniyah dan memiliki 120 ayat. Di antara 120 ayat, salah satunya dikhususkan untuk membahas soal pernikahan, tepatnya pada ayat 5. Pernikahan yang dibahas dalam surat Al Maiday ayat 5 adalah pernikahan seorang Muslim dengan yang berbeda agama.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ ﴿٣﴾ az-zānī lā yangkiḥu illā zāniyatan au musyrikataw waz-zāniyatu lā yangkiḥuhā illā zānin au musyrik, wa ḥurrima żālika 'alal-mu`minīn Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin. 3 Sebab Turunnya Ayat An-Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa dahulu ada seorang wanita bernama Ummu Mahzul yang berprofesi sebagai pelacur, lalu ada salah satu sahabat Nabi saw. yang ingin mengawininya. Maka Allah menurunkan ayat iniAbu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan al-Hakim meriwayatkan dari hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa dahulu seorang laki-laki yang bernama Mazid dibawa dari tawanan di Mekah hingga sampai di Madinah. Dia punya seorang kawan wanita di Mekah yang bernama Inaq. Dia minta izin kepada Nabi saw. untuk mengawini wanita tersebut, akan tetapi beliau sama sekali tidak menjawab, hingga turun ayat ini. Maka Rasulullah bersabda, “Hai Mazid! Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina atau perempuan musyrik”. Karena itu, jangan mengawininya!”Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Mujahid bahwa ketika Allah mengharamkan zina-padahal para wanita pelacur itu cantik-cantik- ada yang berkata, “Biarlah mereka bebas dan menikah.” Maka turunlah ayat ini. AsbabunNuzul Surah Al-Maidah. Asbabun Nuzul Surah Al-Maidah. Asbabun Nuzul Surah Al-Maidah. Zoom In. Thumbnails. Auto Flip. First. Previous Page. Next Page. Last. Social Share. More Options. Search Search. Ads
Memahami konteks turun ayat, atau lazim disebut asbabul nuzul, penting untuk memahami keutuhan makna ayat. Apalagi sebagian ayat diturunkan pada konteks tertentu dan spesifik, sekalipun kandungannya bersifat global, universal, dan tidak hanya diperuntukkan pada masa itu Surah Al-Maidah 51, penulis kitab Ma’alimul Tanzil fi Tafsiril Qur’an, Al-Baghawi wafat 510 H, menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan penyebab turun ayat ini. Riwayat pertama mengisahkan bahwa ayat ini diturunkan pada saat Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul tengah bertengkar. Mereka berdebat terkait siapa yang pantas dijadikan tempat berlindung. Pertengkaran mereka itu akhirnya terdengar oleh Nabi SAW. Berikut petikan kisahnya نزلت في عبادة بن الصامت وعبد الله بن أبي ابن سلول، وذلك أنهما أختصما، فقال عبادة إن لي أولياء من اليهود كثير عددهم شديدة شوكتهم، وإني أبرأ إلى الله وإلى رسوله من ولايتهم وولاية اليهود، ولا مولى لي إلا الله ورسوله، فقال عبد الله لكني لا أبرأ من ولاية اليهود لأني أخاف الدوائر ولا بد لي منهم، فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أبا الحباب ما نفست به من ولاية اليهود على عبادة بن الصامت فهو لك دونه. قال إذا أقبل، فأنزل الله تعالى بهذ الآيةArtinya, "Ayat ini diturunkan pada saat Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Salul bertengkar Ubadah berkata, Saya memiliki banyak awliya’ teman/sekutu/pelindung Yahudi, jumlah mereka banyak, dan pengaruhnya besar. Tapi saya melepaskan diri dari mereka dan mengikuti Allah SWT dan Rasul-Nya. Tiada pelindung bagi saya, kecuali Allah dan Rasul-Nya’.Abdullah bin Ubay berkata, Saya lebih memilih berlindung kepada Yahudi karena saya takut ditimpa musibah. Untuk mengindarinya saya harus bergabung dengan mereka’. Nabi SAW berkata, Wahai Abul Hubab, keinginanmu tetap dalam perlindungan kekuasaan Yahudi adalah pilihanmu, tidak baginya’. Ia menjawab, Baik, saya menerimanya’. Karenanya, turunlah ayat ini.”Riwayat kedua, As-Suddi mengatakan, ayat ini diturunkan ketika terjadi serangan yang sangat kuat terhadap suatu kelompok pada perang Uhud. Mereka takut bila orang kafir menyiksa mereka. Berkata salah seorang Muslim, “Saya bergabung dengan orang Yahudi dan menjadikan mereka sebagai tempat berlindung, karena saya khawatir orang-orang Yahudi menyiksa saya”. Sementara seorang lagi berkata, “Saya bergabung dengan orang Nasrani dari Syam dan menjadikannya pelindung.” Maka turunlah ayat ini sebagai larangan terhadap mereka berdua. Ini kutipan redaksi Arabnya قال السدي لما كانت وقعة أحد اشتدت على طائفة من الناس وتخوفوا أن يدل عليهم الكفار. فقال رجل من المسلمين أنا ألحق بفلان اليهودي وآخذ منه أمانا إني أخاف أن يدال علينا اليهود، وقال رجل آخر أما أنا فألحق النصراني من أهل الشام وآخذ منه أمانا، فأنزل الله تعالى هذه الآية ينهماهماSelain dua riwayat di atas, terdapat beberapa riwayat lain yang berkaitan dengan konteks turunnya surah Al-Maidah 51. Tentu semua riwayat itu tidak mungkin disebutkan di sini semuanya. Dari dua riwayat tersebut dapat diperhatikan bahwa ayat ini turun pada saat konflik umat Islam dengan non-Muslim sedang memanas. Dalam situasi konflik, berpihak pada kelompok musuh, pada waktu itu orang kafir, dianggap sebagai sebuah pengkhianatan dan merusak persatuan umat Islam. Bahkan orang yang bersekutu dengan musuh dinilai sudah menjadi bagian dari mereka. Karenanya, ketika ada orang yang meminta perlindungan atau berkoalisi dengan orang Yahudi dan Nasrani, ayat ini diturunkan sebagai larangan. Wallahu a’lam. Hengki Ferdiansyah
AsbabunNuzul ayat ini adalah: "Bahwa Ibnu Shuriya berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Petunjuk itu tiada lain kecuali apa yang kami anut, maka ikutilah kami hai Muhammad, agar kamu mendapat petunjuk.". Kaum Nasrani pun berkata seperti itu juga. Maka Allah Ta'ala menurunkan ayat ini untuk menegaskan bahwa agama Yazidibnu Suhaib Al-Faqir mengatakan, aku bertanya kepada Jabir ibnu Abdullah tentang firman Allah Swt.: Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar darinya. (Al-Maidah: 37) Jabir ibnu Abdullah memerintahkan kepadanya untuk membaca bagian permulaan dari ayat yang sebelumnya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya IbnuBaththal berkata, "Ayat yang dimaksud adalah ayat dalam surah an-Nisaa'. Alasannya, ayat tentang tayammum dalam surah al-Maa'idah disebut juga dengan ayat wudhu, sedangkan dalam ayat surah an-Nisaa' tidak disebutkan tentang wudhu sama sekali. Dengan ini maka jelaslah pengkhususan ayat an-Nisaa' ini sebagai ayat tayammum.".
163Tidak ditemukan asbab nuzul yang spesifik menjelaskan tentang ayat tersebut, akan tetapi turun bersamaan dengan ayat 1 - 5. Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pasukan berkuda yang diutus oleh Rasulullah akan tetapi tidak ada kabar yang sampai kepadanya setelah satu bulan mereka pergi, kemudian turunlah al-Qur'an Surat al-Adiyat ayat 1-5 sebagai
Ibnu'Asakir meriwayatkan dalam kitab Al-Mubhamaat, "Saya menemukan tulisan tangan dari Ibnu Basykual yang menyebutkan bahwa Abu Bakar bin Abi Dawud meriwayatkan dalam kitab tafsirnya, 'Ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hindun. Suatu ketika, Rasulullah menyuruh Bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hindun ini dengan wanita dari suku mereka. .
  • n31z49giuy.pages.dev/179
  • n31z49giuy.pages.dev/242
  • n31z49giuy.pages.dev/201
  • n31z49giuy.pages.dev/192
  • n31z49giuy.pages.dev/283
  • n31z49giuy.pages.dev/165
  • n31z49giuy.pages.dev/128
  • n31z49giuy.pages.dev/194
  • asbabun nuzul al maidah ayat 3