KelompokSosial dalam Masyarakat Multikultural (bag. 1) A. Pengertian Kelompok Sosial Sebagai makhluk sosial, manusia berusaha untuk hidup bersama. Perkembangan hidup manusia akan mendorong kuat tiap-tiap individu untuk melakukan interaksi sosial. Interaksi social ini akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial.
MAKALAH KELOMPOK SOSIAL DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL “Disusun untuk memenuhi tugas Ilmu pengetahuan sosial IPS” DISUSUN OLEH - AFRIYANTO SOSIAL DAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL Kelompok sosial adalah individu-individu yang berkumpul dan melakukan interaksi. Selain istilah kelompok sosial, ilmu sosiologi juga mengenal istilah kerumunan. Kerumunan dapat diartikan sebagai individu-individu yang berada di waktu dan tempat yang sama. Kelompok sosial Kerumunan • bersifat tetap • memiliki tujuan yang sama • interaksi yang terjadi jelas dan fokus • mengarah pada pembentukan masyarakat • bersifat sementara • tidak memiliki tujuan bersama • interaksi tidak terfokus • tidak mengarah pada pembentukan masyarakat Perbedaan kelompok sosial dengan kerumunan Masyarakat multikultural adalah kesatuan manusia yang memiliki beragam budaya. Berikut adalah pandangan para ahli sosiologi mengenai masyarakat multikultural. • furnivall Masyarakat multikultural terbentuk oleh 2 atau lebih komunitas. • Nasikun Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang menganut banyak sistem nilai • Pierre L. Van de Berghe Masyarakat multikultural memiliki karateristik sebagai berikut - Memiliki subkebudayaan. - Struktur sosial yang terbentuk rawan terjadi konflik - Integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan didalam bidang ekonomi • Clifford Geertz Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang memiliki ikatan- ikatan primordialitas Hubungan Kelompok Sosial Dengan Masyarakat Multikultural Kelompok Sosial Sebagai Unsur Pembentuk Masyarakat Multikultural Masyarakat multikultural tidak akan bisa terwujud tanpa adanya kelompok-kelompok sosial 2. Kelompok Sosial Sebagai Dinamisator Masyarakat Multikultural Tata urutan terjadinya masyarakat multikultural adalah sebagai berikut. Individu – klompok social – masarakat – masarakat multicultural Hubungan Kelompok Sosial Dengan Masyarakat Multikultural 1. Kelompok Sosial Sebagai Unsur Pembentuk Masyarakat Multikultural Masyarakat multikultural tidak akan bisa terwujud tanpa adanya kelompok- kelompok sosial 2. Kelompok Sosial Sebagai Dinamisator Masyarakat Multikultural Tata urutan terjadinya masyarakat multikultural adalah sebagai berikut. Hubungan Kelompok Sosial Dengan Masyarakat Multikultural 1. Kelompok Sosial Sebagai Unsur Pembentuk Masyarakat Multikultural Masyarakat multikultural tidak akan bisa terwujud tanpa adanya kelompok-kelompok sosial 2. Kelompok Sosial Sebagai Dinamisator Masyarakat Multikultural Tata urutan terjadinya masyarakat multikultural adalah sebagai berikut. 1. Faktor Penyebab Timbulnya Masyarakat Multikultural Di Indonesia a. Keanekaragaman ras Ada 3 ras besar manusia di dunia yakni, - Ras Mongoloid - Ras Kaukasoid - Ras Negroid b. Keanekaragaman suku bangsa c. Keanekaragaman golongan d. Keanekaragaman agama Indonesia memiliki beragam agama dan kepercayaan. Agama yang ada dan berkembang di Indonesia antara lain - Islam - Kristen - Katolik - Hindu - Buddha - Konghucu Karateristik Masyarakat Multikultural Di Indonesia Masyarakat indonesia belum bisa dikatakan sebagai masyarakat multikultural yang sempurna. Hal ini diindikasikan dari hal-hal berikut. Masih terdapat dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya. Struktur sosial yang ada lebih banyak menguntungkan pihak yang mendominasi. Konflik sosial yang muncul masih sering berlanjut dengan kekerasan. Keanekaragaman kelompok sosial Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Konsep ini diperkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia memandang kelompok manusia terbagi 2 yaitu, segi mekanik dan segi organisatorik fungsional Solidaritas mekanik merupakan ciri dari masyarakat yang masih sederhana dan belum mengenal pembagian kerja. sedangkan Solidaritas organik merupakan hasil kesadaran manusia atau keinginan yang rasional. Gemeinschaft dan Gesellschaft Konsep ini diperkenalkan oleh Ferdinand Tonnies. Menurutnya kelompok masyarakat terbagi atas gemeinschaft dan gesellschaft. Gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama yang anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat kekal. Gemeinschaft terbentuk oleh adanya iktana darah atau keturunan. Gesellschaft adalah kelompok yang disadari oleh ikatan lahiriah yang jangka waktunya terbatas. Kelompok Primer dan Sekunder Cooley dan Faris menyebutkan ada dua tipe kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer ditandai dengan pergaulan dan kerjasama tatap muka yang intim. sedangkan kelompok sekunder ditandai dengan pergaulan formal, tidak pribadi dan berciri kelembagaan. Contohnya adalah partai politik. In-group dan Out-group Teori ini diperkenalkan oleh William Graham Sumner. Ia membagi kelompok masyarakat menjadi dua kelompok besar yaitu in-group dan out-group.
Masyarakatmultikultural adalah suatu masyarakat yang teriri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, dll yang hidup dalam suatu kelompok masyrakat yang memiliki satu pemerintaha tetapi dalam masyarakat itu masig terdapat segmen- segmen yang tidak bisa disatukan. III. CIRI-CIRI MASYARAKAT MULTIKULTURAL 1.
Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar A. PENDAHULUAN Multikulturalisme menurut Tariq Modood dalam Hoon, C. Y. 2013 adalah suatu istilah yang menarik. Ia bisa dipahami berbeda oleh banyak negara tergantung latar belakang sosial politik yang mengiringi kemunculan istilah ini. Seperti halnya dengan Negara Amerika Serikat, multikulturalisme diartikan secara politik digunakan untuk mengakui hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara sebagai respon atas meningkatnya klaim atas perbedaan kelompok, seperti etnis Afrika, kelompok etnis minoritas, perempuan, gay dan lain sebagainya. Berbeda dengan Negara-negara Eropa, multikulturalisme adalah respon yang muncul dari imigrasi pendatang dari luar Eropa, dari orang non-kulit putih yang masuk ke negara-negara mayoritas kulit putih. Dalam hal ini, multikulturalisme berbentuk pengakuan atas kelompok-kelompok yang berbeda dalam ruang publik dan memiliki fokus yang lebih sempit yaitu berfokus pada konsekuensi imigrasi dan perjuangan dari beberapa kelompok marjinal. Modood 2013. Kebanyakan negara Eropa bisa jadi memiliki pengalaman yang mirip terkait imigrasi, akan tetapi fokus dari kebijakan multikulturalnya bisa bermacam-macam. Di beberapa negara, bisa jadi rasisme dan warisan kolonialisme menjadi sentral; di beberapa yang lain, perhatiannya mungkin tertuju pada bagaiamana merubah kondisi pekerja tamu ini menjadi warga negara yang setara ketika kondisi sebelumnya tidak menawarkan kesempatan untuk menjalankan kuasa demokratis Modood 2013. Kesimpulan dari berbagai pendapat tentang multikulturalisme adalah merupakan respon suatu masyarakat atau pemerintah terhadap isu-isu keragaman budaya dalam suatu masyarakat, selain itu multikulturalisme sudah menjadi suatu ideology untuk melegitimasi masuknya keragaman etnis dalam struktur umum masyarakat termasuk dalam struktur politik dan multikulturalisme merupakan salah satu desain kebijakan publik untuk menciptakan kesatuan nasional dalam suatu keragaman. Sedangkan pluralism menurut Furnivall dalam Helmiati, H. 2013 mendefiniskan masyarakat plural sebagai "comprising two or more kehadiran dua atau lebih komunitas yang berbeda, tinggal berdampingan dalam satu unit politik, akan tetapi tidak saling berkait antara yang satu dengan yang lain; pembagian ekonomi berjalan seiring dengan pembagian budaya. Jadi masyarakat plural merupakan masyarakat yang memiliki lebih dari satu komunitas yang berbeda beda bahasa, adat ataupun nilai sosial yang dianut, yang hidup berdampingan dalam suatu tatatanan pemerintahan seperti pemerintahan kerajaaan atau adat, namun antara komunitas yang satu dengan yang lain tidak saling terkait atau memiliki hubungan darah secara geneologis, setiap komunitas menjalankan kehidupan sosialnya masing-masing seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai pada menciptkan budaya sendiri. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 MASYARAKAT MULTIKULTURAL BANGSA INDONESIA Suardi suardi Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Muhammadiyah Makassar A. PENDAHULUAN Multikulturalisme menurut Tariq Modood dalam Hoon, C. Y. 2013 adalah suatu istilah yang menarik. Ia bisa dipahami berbeda oleh banyak negara tergantung latar belakang sosial politik yang mengiringi kemunculan istilah ini. Seperti halnya dengan Negara Amerika Serikat, multikulturalisme diartikan secara politik digunakan untuk mengakui hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara sebagai respon atas meningkatnya klaim atas perbedaan kelompok, seperti etnis Afrika, kelompok etnis minoritas, perempuan, gay dan lain sebagainya. Berbeda dengan Negara-negara Eropa, multikulturalisme adalah respon yang muncul dari imigrasi pendatang dari luar Eropa, dari orang non-kulit putih yang masuk ke negara-negara mayoritas kulit putih. Dalam hal ini, multikulturalisme berbentuk pengakuan atas kelompok-kelompok yang berbeda dalam ruang publik dan memiliki fokus yang lebih sempit yaitu berfokus pada konsekuensi imigrasi dan perjuangan dari beberapa kelompok marjinal. Modood 2013. Kebanyakan negara Eropa bisa jadi memiliki pengalaman yang mirip terkait imigrasi, akan tetapi fokus dari kebijakan multikulturalnya bisa bermacam-macam. Di beberapa negara, bisa jadi rasisme dan warisan kolonialisme menjadi sentral; di beberapa yang lain, perhatiannya mungkin tertuju pada bagaiamana merubah kondisi pekerja tamu ini menjadi warga negara yang setara ketika kondisi sebelumnya tidak menawarkan kesempatan untuk menjalankan kuasa demokratis Modood 2013. Kesimpulan dari berbagai pendapat tentang multikulturalisme adalah merupakan respon suatu masyarakat atau pemerintah terhadap isu-isu keragaman budaya dalam suatu masyarakat, selain itu multikulturalisme sudah menjadi suatu ideology untuk melegitimasi masuknya keragaman etnis dalam struktur umum masyarakat termasuk dalam struktur politik dan multikulturalisme merupakan salah satu desain kebijakan publik untuk menciptakan kesatuan nasional dalam suatu keragaman. Sedangkan pluralism menurut Furnivall dalam Helmiati, H. 2013 mendefiniskan masyarakat plural sebagai "comprising two or more kehadiran dua atau lebih komunitas yang berbeda, tinggal berdampingan dalam satu unit politik, akan tetapi tidak saling berkait antara yang satu dengan yang lain; pembagian ekonomi berjalan seiring dengan pembagian budaya. Jadi masyarakat plural merupakan masyarakat yang memiliki lebih dari satu komunitas yang berbeda beda bahasa, adat ataupun nilai sosial yang dianut, yang hidup berdampingan dalam suatu tatatanan pemerintahan seperti pemerintahan kerajaaan atau adat, namun antara komunitas yang satu dengan yang lain tidak saling terkait atau memiliki hubungan darah secara geneologis, setiap komunitas menjalankan kehidupan sosialnya masing-masing seperti memenuhi kebutuhan sehari-hari sampai pada menciptkan budaya sendiri. 2 Berdasar prespektif yang berbeda tersebut tentang multikulturalisme dan pluralisme maka Indonesia lebih cocok sebagai masyarakat pluralism, yang sejak dulu memiliki budaya yang berbeda hidup berdampingan satu sama lain. Meskipun sekarang Indonesia Juga merupakan masyrakat multikulturalisme karena adanya perjuangan hak asasi manusia dan perjuangan kesetaraan diberbagai komnitas marjinal, sehingga sekarang ini isu-isu keberagaman dalam konteks multikulturalisme dan pluralisme ini menjadi suatu keniscayaan dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut berdampak pada isu keragaman budaya, hak asasi manusia dan hubungan antara kelompok minoritas dan mayoritas atau negara dalam dinamika pembangunan bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang pluralisme dan multikulturalisme. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia’ yang bercorak masyarakat majemuk’ plural society. Suparlan, P. 2014. Masyarakat Indonesia ditandai dengan kehidupan masyarakat yang beranekaragam dalam berbagai bentuk suku, agama, ras dan golongan, namun tetap dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika’. Menurut Taufani, P., Holillulloh, H., & Adha, M. M. 2013 Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan, kemudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah suku, agama, ras, dan antar golongan SARA, Semboyan itu dilukiskan di bawah lambang negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikulturalisme adalah adanya ideologi yang dipegang oleh setiap masyarakat Indonesia yang menghargai perbedaan dan keragaman baik secara individual person maupun secara kelompok komunitas yaitu masyarakat multikulturalisme Fay 1996. Berkaitan dengan masyarakat multicultural seperti Negara Indonesia memiliki kebudayaan dan ideologi yang berlaku secara umum bagi seluruh bangsa Indonesia, seperti ideology pancasila sebagai wujud keseluruhan budaya Indonesia dalam keragaman dalam pembangunan bangsa masyarakat telah menjadikan multikulturalisme sebagai dasar sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Hal tersebut menunjukkan bahawa kebudayaan bangsa merupakan hasil buah usaha budaya-budaya daerah, yang dijadikan menjadi satu intisari sebagai kebudayaan bangsa, sehingga masyarakat multicultural merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. masyarakat multikultural merupakan suatu fakta, fakta semakin bercampur baurnya penduduk dunia yang mampu memberikan tekanan pada sistem pemerintahan pendidikan, ekonomi yang mapan untuk berubah. Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Menurut Suparlan, P. 2014 masyarakat multicultural dapat tercapai jika 1 konsep multikulturalisme menyebarluas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; 2 Kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan 3 konsep-konsep yang mendukungnya, dan 3 Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini. B. PEMBAHASAN Hakikat Masyarakat Multikultural Menurut Usman Pelly dalam Gunawan, K., & Rante, Y. 2011 masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Pada hakikatnya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya culture yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antar individu di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara damai peace co-exixtence satu sama lain dengan perbedaan yang melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Gunawan, K., & Rante, Y. 2011. Oleh Multikulturalisme dijadikan sebagai acuan utama terbentuknya masyarakat multikultural yang damai, masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, pertikaian yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia seperti konflik poso. Menurut Mahrus, M., & Muklis, M. 2015 Indonesia merupakan masyarakat multikultural. Hal ini terbukti di Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang masing-masing mempunyai struktur budaya yang berbedabeda. Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan bahasa, adat istiadat, religi, tipe kesenian, dan lain-lain. Pada dasarnya suatu masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat. Selain itu, masyarakat kultural dapat diartikan sebagai berikut Gunawan, K., & Rante, Y. 2011 1 Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam masyarakat. 2 Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas. 3 Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik secara individu ataupun kelompok serta budaya. 4 Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling menghormati dalam perbedaan. 5 Unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam perbedaan. Ide multikulturalisme menurut Taylor dalam Wattimena, R. A. A. 2011 merupakan suatu gagasan untuk mengatur keberagaman dengan prinsip-prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri politics of recognition. Gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran masyarakat adat dan lain-lain. Sedangkan Parsudi Suparlan mengungkapkan bahwa multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu, konsep multikulturalisme 4 tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa ethnic atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan kebudayaan dalam kesederajatan. Berkaitan dengan konflik sosial, multikulturalisme merupakan paradigma baru dalam upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflik. Secara sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas dalam masyarakat. Melalui multikulturalisme masyarakat diajak untuk menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan dalam arus perubahan sosial. Meskipun berada dalam perbedaan sistem sosial berpijak dari pemikiran tersebut, paradigma multikulturalisme diharapkan menjadi solusi konflik sosial yang terjadi saat ini. Dengan demikian, inti multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnis, gender, bahasa, ataupun agama. Sedangkan fokus multikulturalisme terletak pada pemahaman akan hidup penuh dengan perbedaan sosial budaya, baik secara individual maupun kelompok dan masyarakat. Dalam hal ini individu dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya. Bagi Indonesia, multikultural merupakan suatu strategi dan integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam mengatasi setiap isu-isu separatisme memisahkan diri dan disintegrasi sosial. Multikulturalisme mengajarkan semangat kemanunggalan atau ketunggalan tunggal ika yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat, tetapi pengakuan adanya pluralitas Bhinneka budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa. Macam-Macam Masyarakat Multikultural Keragaman struktur budaya dalam masyarakat menjadikan multikulturalisme terbagi menjadi beberapa bentuk lihat Hasan, A. M. 2016 dan Mubit, R. 2016, yaitu 1 Multikulturalisme Isolasi. Masyarakat jenis ini biasanya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang saling mengenal satu sama lain. Kelompok-kelompok tersebut pada dasarnya menerima keragaman, namun pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. Contohnya masyarakat suku Kajang yang ada di Kabupaten Bulukumba yang masih mengisolasi diri dan mempertahankan budaya mereka dari budaya luar, namun tetap menerima keragaman masyarakat selain masyarakat mereka seperti tetap berinteraksi dengan masyarakat lain. 2 Multikulturalisme Akomodatif. Masyarakat ini memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian-penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, serta memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan/ mempertahankan kebudayaan mereka. Sebaliknya, kaum minoritas tidak menentang kultur dominan. Contohnya suku Jawa yang ada di daerah Palopo. 3 Multikulturalisme Otonomi. Dalam model ini kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan equality dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Prinsip-prinsip pokok kehidupan kelompok-kelompok dalam multikultural jenis ini adalah mempertahankan cara hidup mereka masing-masing yang 5 memiliki hak-hak sama dengan kelompok dominan. Mereka juga menentang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Contohnya kelompok feminis yang memperjuangkan kesetaraan gender. 4 Multikulturalisme Kritikal/Interaktif. Jenis multikulturalisme ini terjadi pada masyarakat plural di mana kelompok-kelompok yang ada sebenarnya tidak terlalu menuntut kehidupan otonom, akan tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang menegaskan perspektif-perspektif distingtif membedakan mereka. Kelompok dominan dalam hal ini tentunya menolak, bahkan berusaha secara paksa menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Contohnya kelompok lesbian, gay, biseksual dan transeksual LGBT sebagai kelompok minoritas yang ingin diakui eksistensi oleh kelompok mayoritas atau masyarakat luas, sebagai kelompok yang ingin mendapatkan perlakuan yang sama dengan kelompok yang lain. 5 Multikulturalisme Kosmopolitan. Kehidupan dalam multikulturalisme jenis ini berusaha menghapus segala macam batas-batas kultural untuk menciptakan masyarakat yang setiap individu tidak lagi terikat pada budaya tertentu. Bisa juga sebaliknya, yaitu tiap individu bebas dengan kehidupan-kehidupan lintas kultural atau mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Contohnya kehidupan di kota Makassar yang hidup berdampingan dengan kultur yang berbeda. Penyebab Terciptanya Multikultural Pada dasarnya semua bangsa di dunia bersifat multikultural. Adanya masyarakat multikultural memberikan nilai tambah bagi bangsa tersebut. Keragaman ras, etnis, suku, ataupun agama menjadi karakteristik tersendiri, sebagaimana bangsa Indonesia yang unik dan rumit karena kemajemukan suku bangsa, agama, bangsa, maupun ras. Masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Berkaca dari masyarakat multikultural bangsa Indonesia, kita akan mempelajari penyebab terbentuknya masyarakat multikultural. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bisa jadi merupakan sebuah ”monumen” betapa bangsa yang mendiami wilayah dari Sabang sampai Merauke ini memang merupakan bangsa yang majemuk, plural, dan beragam. Majemuk artinya terdiri atas beberapa bagian yang merupakan kesatuan, plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya berwarna-warni. Bisa dibayangkan bagaimana wujud bangsa Indonesia. Mungkin dapat diibaratkan sebagai sebuah pelangi. Pelangi itu akan kelihatan indah apabila beragam unsur warnanya bisa bersatu begitu pula dengan bangsa kita. Indonesia akan menjadi bangsa yang damai dan sejahtera apabila suku bangsa dan semua unsur kebudayaannya mau bertenggang rasa membentuk satu kesatuan. Kita mencita-citakan keanekaragaman suku bangsa dan perbedaan kebudayaan bukan menjadi penghambat tetapi perekat tercapainya persatuan Indonesia. Namun, kenyataan membuktikan bahwa tidak selamanya keanekaragaman budaya dan masyarakat itu bisa menjadikannya pelangi. Keanekaragaman budaya dan masyarakat dianggap pendorong utama munculnya persoalan-persoalan baru bagi bangsa Indonesia. Keanekaragaman yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru Nurdin Hasan 2011 sebagai berikut. 1 Keanekaragaman Suku Bangsa. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki 6 kekayaan budaya yang luar biasa banyaknya. Yang menjadi sebab adalah keberadaan ratusan suku bangsa yang hidup dan berkembang di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Kita bisa membayangkan apa jadinya apabila masing-masing suku bangsa itu mempunyai karakter, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, dan lain-lain. Kompleksitas nilai, norma, dan kebiasaan itu bagi warga suku bangsa yang bersangkutan mungkin tidak menjadi masalah. Permasalahan baru muncul ketika suku bangsa itu harus berinteraksi sosial dengan suku bangsa yang lain. 2 Keanekaragaman Agama. Letak kepulauan Nusantara pada posisi silang di antara dua Samudra dan Benua, jelas mempunyai pengaruh yang penting bagi munculnya keanekaragaman masyarakat dan budaya. Dengan didukung oleh potensi sumber alam yang melimpah, maka Indonesia menjadi sasaran pelayaran dan perdagangan dunia. Agama-agama besar pun muncul dan berkembang di Indonesia, dengan jumlah penganut yang berbeda-beda. Kerukunan antarumat beragama menjadi idam-idaman hampir semua orang, karena tidak satu agama pun yang mengajarkan permusuhan. 3 Keanekaragaman Ras. Salah satu dampak terbukanya letak geografis Indonesia, banyak bangsa luar yang bisa masuk dan berinteraksi dengan bangsa Indonesia. Misalnya, keturunan Arab, India, Korea, Cina, Amerika dan lain-lain. Dengan sejarah, kita bisa mercari bagaimana asal usulnya. Bangsa-bangsa asing itu tidak saja hidup dan tinggal di Indonesia, tetapi juga mampu berkembang secara turun-temurun membentuk golongan sosial dalam masyarakat kita. Mereka saling berinteraksi dengan penduduk pribumi dari waktu ke waktu. Pandangan tentang Masyarakat Mulitikultural Masyarakat Indonesia memiliki agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda. Tiap-tiap agama dan kepercayaan tersebut memiliki tata cara beribadah yang berbeda-beda pula. Berkaitan dengan perbedaan identitas dan konflik sosial muncul tiga kelompok sudut pandang yang berkembang Sudharto, S. 2012, Isnaini, M, yaitu 1 Pandangan Primordialisme. Kelompok ini menganggap perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras, agama merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun budaya. 2 Pandangan Kaum Instrumentalisme. Menurut mereka, suku, agama, dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar baik dalam bentuk materiil maupun nonmateriil. 3 Pandangan Kaum Konstruktivisme. Kelompok ini beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas bagi kelompok ini dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Oleh karena itu, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah. Kenyataan ini menjadikan suatu tantangan baru bagi bangsa untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang damai. Dampak Keragaman di Masyarakat Keragaman di masyarakat dapat ditinjau dari beberapa hal, misalnya ras, suku bangsa, agama dan jenis kelamin lihat Turangan, D. D. 2011, Siregar, N. O., Bariah, C., & Rahman, A. 2014, Garaudy, R. 2000, Balasuriya, T. 1994. Bertens, K. 2009 7 1. Ras Pembedaan masyarakat berdasarkan ras bisa didasarkan atas perbedaan ciri-ciri fisiknya. Ras merupakan konsep biologis, bukan kebudayaan. Ciri-ciri yang dikemukakan dalam diferensiasi ras adalah ciri-ciri yang menurun. Mengenai diferensiasi berdasar ras banyak permasalahan yang muncul dari situ. Pada zaman imperialisme dan kolonialisme, diferensiasi sosial berdasarkan ras digunakan untuk mengukur tinggi rendah seseorang atau kelompok dalam masyarakat. Kasus-kasus tersebut, antara lain sebagai berikut. a. Politik Apartheid di Afrika Selatan. Politik apartheid ini dijalankan oleh pemerintah penguasa Inggris yang saat itu berkuasa atas Afrika Selatan. Mereka menganggap bahwa kulit putih lebih tinggi derajatnya daripada orang kulit hitam. Sehingga masyarakat kulit putih menolak untuk melakukan kegiatan bersama-sama dengan masyarakat kulit hitam. b. Pelaksanaan Politik Diskriminasi Ras di Amerika Serikat. Diskriminasi ras di Amerika Serikat tidak hanya diberlakukan terhadap orang-orang Indian tetapi juga terhadap golongan kulit hitam negro yang diperjualbelikan sebagai budak di Amerika Serikat. Mereka dianggap masyarakat kelas bawah yang hina sehingga pantas diperlakukan dengan sewenang-wenang. Masyarakat golongan kulit hitam banyak yang dijadikan budak dan diperjualbelikan oleh kulit putih. Politik diskriminasi ini juga mendapat kecaman dari masyarakat dunia sehingga politik ini berakhir. c. Diskriminasi Ras di Jerman. Diskriminasi ras di Jerman terjadi saat Jerman berada di bawah kekuasaan Hitler. Hitler yang keturunan ras Arya menganggap bahwa ras tersebut paling tinggi kedudukannya di dunia. Untuk itu, bangsa Jerman ras Arya harus menjadi pemimpin bangsa-bangsa di seluruh dunia. Pihak-pihak yang menjadi korban dari pelaksanaan politik diskrimnasi ras di Jerman ini bukan masyarakat golongan kulit hitam tetapi masyarakat Yahudi. Saat itu masyarakat Yahudi yang ada di Jerman betul-betul ditekan dan menjadi korban kebijakan pemerintahan Hitler. Hitler yang beranggapan bahwa kekalahan dan hancurnya perekonomian di Jerman disebabkan oleh golongan Yahudi dan merasa ”gerah” dengan kehadiran golongan tersebut di Jerman. Untuk itu, Hitler merencanakan untuk menghabiskan golongan Yahudi dari Jerman. Banyak golongan Yahudi saat itu mati dalam tawanan di kamp-kamp konsentrasi. Munculnya kasus di atas dilatarbelakangi oleh pola pikir yang menganggap bahwa golongan kulit putih ras Kaukasoid lebih unggul daripada ras lain. Anggapan tersebut selain menyesatkan juga menimbulkan penderitaan bagi masyarakat golongan lain selama bertahun-tahun. Anggapan itu merusak ciri-ciri ras, yaitu pembedaan berdasarkan ciri-ciri fisik tetapi dikacaukan oleh ciri-ciri rohani. Anggapan bahwa ras kulit putih lebih tinggi, lebih maju, dan lebih luhur dari ras lain jelas salah dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Anggapan tersebut berkembang pada zaman imperialisme dan kolonialisme di mana saat itu bangsa-bangsa Eropa menguasai dan menjajah bangsa lain di dunia. Anggapan terhadap keunggulan jasmani dan rohani ras kulit putih terhadap ras-ras lain tersebut dikuatkan oleh sarjana-sarjana reaksioner yang merupakan reaksi terhadap pergolakan-pergolakan rakyat yang mulai mengguncang banyak sistem kekuasaan di Eropa Barat. 2. Suku Bangsa Keragaman suku bangsa merupakan pembedaan masyarakat berdasarkan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat 197473 ras adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas 8 dalam kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut seringkali dikuatkan oleh kesatuan atau persamaan bahasa. Masing-masing kebudayaan suku bangsa memiliki corak khas yang akan dapat dilihat dengan jelas oleh masyarakat di luar kelompok tersebut. Dalam kenyataan konsep suku bangsa lebih kompleks karena batas kesatuan manusia yang merasa dirinya terikat oleh keseragaman kebudayaan itu dapat meluas dan menyempit tergantung pada keadaan. Kepribadian khas dari tiap-tiap suku bangsa tersebut dikuatkan oleh bahasa daerah. Jika dilihat dari definisi suku bangsa maka bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa. Akibatnya, Indonesia banyak memiliki bahasa daerah, adat istiadat, rumah adat, pakaian adat, makanan khas daerah, adat perkawinan, kesenian daerah, dan unsur budaya lain. Keanekaragaman suku bangsa dan budaya tersebut tidak seharusnya menjadikan kita terpecah-pecah sehingga mudah dipengaruhi budaya bangsa lain. Jangan pula sebagai warga suku bangsa merasa paling tinggi kebudayaannya dibandingkan suku bangsa lain. Keanekaragaman suku bangsa hendaknya dijadikan modal kekayaan bangsa Indonesia. Keanekaragaman merupakan kekayaan yang harus dipelihara. Kita harus merasa satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Dengan demikian, antarsuku bangsa kita harus membina persahabatan dan kekeluargaan. Sikap itu, antara lain ditunjukkan dengan sikap sebagai berikut a Menghormati orang lain seperti kita menghormati diri sendiri; b Mengakui persamaan harkat, derajat, dan martabat manusia; a Bersikap sopan santun dan ramah kepada setiap orang; c Menyadari bahwa semua manusia adalah bersaudara; d Tidak membeda-bedakan manusia karena suku bangsa, adat istiadat, bahasa, dan agama yang berbeda. Secara umum suku bangsa di Indonesia dapat dibedakan berdasarkan bahasa dan adat istiadat. Perbedaan bahasa dapat terlihat dengan banyaknya bahasa daerah yang digunakan suku-suku bangsa di Indonesia. Sementara itu, perbedaan adat istiadat suku bangsa terlihat pada sistem perkawinan, upacara adat, hukum adat, dan perbedaan adat yang lain. 3. Agama Pemerintah Indonesia mengakui dan mengembangkan lima agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha meskipun masih ada berbagai kepercayaan yang ingin mendapatkan pengakuan oleh pemerintah sebagai suatu agama. Kondisi ini sangat rentan terhadap terjadinya konflik dan disintegrasi bangsa Indonesia. Walaupun bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam agama, namun hendaknya tetap bersatu seperti dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia memiliki suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan kebudayaan yang beragam pula. Dengan adanya perbedaan itu maka dalam menjalankan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan, tiap-tiap umat beragama dituntut menghormati satu sama lain. Pemeluk agama tidak boleh saling menghina terhadap pemeluk agama lain. Sebagai warga negara kita ikut berupaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan toleransi antarumat beragama. Kita harus menghindari dan menjauhi hal-hal sebagai berikut. a Sikap fanatik yang berlebihan, yaitu sikap tidak mau menghargai pemeluk agama lain dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahkan memusuhinya. b Sikap mencampuradukan ajaran agama dengan kepercayaan atau ajaran lain. c Sikap acuh tak acuh terhadap agama atau kepercayaan lain. Kita harus membina kerja sama antarumat beragama. Kerja sama antar umat beragama adalah untuk menghormati umat baik yang seagama maupun yang tidak seagama. Selain itu, untuk menghindari pertentangan antar umat beragama. Kita hendaknya harus dapat menghindari sikap saling curiga antar umat beragama. Pentingnya membina kerja 9 sama antar sesama umat beragama Koentjaraningrat 1974, yaitu a Terwujudnya keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan beragama di Indonesia; b Terwujud dan terjaminnya tri kerukunan hidup beragama; c Makin kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia; d Terwujudnya sikap saling menghormati antarumat atau lembaga agama lain; e Menghindari pertentangan antarumat beragama; f Terwujudnya sikap saling menghormati dan melaksanakan hak dan kewajiban, tugas dan kewenangan, serta tanggung jawab masyarakat. Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan merupakan suatu masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok yang biasanya merupakan kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneus. Sementara itu, masyarakat yang memiliki diferensiasi atau spesialisasi yang tinggi merupakan suatu masyarakat dengan tingkat diferensiasi fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga kemasyarakatan, tetapi bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain. Di dalam keadaan yang demikian, solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas organis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial tidak mudah dikembangkan di dalam masyarakat majemuk. Hal yang Harus Dihindari dalam Masyarakat Multikultural Membangun masyarakat multikultural yang rukun dan bersatu, ada beberapa nilai yang harus dihindari Gunawan, K., & Rante, Y. 2011., yaitu primordialisme, etnosenterisme, diskriminatif dan streotipe. Penjelasan setiap komponen tersebut yaitu 1 Primordialisme. Primordialisme artinya perasaan kesukuan yang berlebihan. Menganggap suku bangsanya sendiri yang paling unggul, maju, dan baik. Disuatu sisi primordialisme merupakan hal yang baik karena hakikatnya ingin melestarikan budaya yang ada ditempat individu itu lahir, namun juga sikap ini tidak baik untuk dikembangkan di masyarakat yang multikultural seperti Indonesia karena merupakan suatu bentuk embrio konflik, apabila sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, dan kecil kemungkinan mereka untuk bisa menerima keberadaan suku bangsa yang lain. Contoh menganggap suku Makassar lebih bagus dar suku Toraja. 2 Etnosentrisme. Etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain karena mengangap bahwa kebudayaanya lebih baik dengan menggunakan ukuran budaya sendiri. Contoh memberikan ukuran bahasa yang baik itu berdasarkan bahasa sendiri. 3 Diskriminatif. Diskriminatif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati terhadap sesama warga masyarakat, seperti perbedaan perlakuan antara orang miskin dan orang kaya dalam mendapatkan layanan kesehatan. 4 Stereotip. Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Indonesia memang memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki ciri khas. Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-besarkan hingga membentuk sebuah kebencian atau stereotip bagi suku tersebut, seperti 10 stereotip untuk suku Makassar sebagai suku yang kasar, padahal tidak semua orang yang bersuku Makassar adalah orang kasar, ada diantara mereka yang memiliki jiwa yang lemah lembut. Pendapat yang lain seperti yang dikemukakan oleh Hidayati, M. 2008 meletakkan masyarakat Indonesia yang modern dan tugas besar untuk membangun kerjasama dan saling penghormatan antaragama dan antarperadapan, sebuah perjalanan yang mengajak perbedaan untuk masuk mengujudkan perbedaan dan mensyukuri perbedaan, perdamaian yang merupakan buah karya keadilan. Dalam hubungannya dengan tindakan-tindakan politik dan hukum, toleransi menuntut undang-undang yang adil dan tidak memihak, penegakan hukum dan proses pengadilan dan administratif. Pengucilan dan marjinalisasi dapat mengarah pada frustrasi, permusuhan, dan fanatisme. Agar masyarakat memiliki sikap dan tindakan yang toleran, UNESCO menyarankan negara-negara agar meratifikasi konvensi-konvensi hak-hak asasi manusia internasional yang sudah ada dan menyusun undang-undang baru untuk menjamin kesamaan perlakuan dan kesempatan untuk semua kelompok dan perseorangan di masyarakat. Ghazali, A. M. 2017. Lain halnya dengan Hans yang lebih menekankan pada dialog dalam memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan masyarakat mulitikultural. Hans Kung dalam Ahmad, H. A. 2016 no ordering ofthe world without a world ethic; no peace among the nations without peace among the religions; no peace among the religions without dialogue among the religions. Artinya bahwa tidak ada suatu tatanan dunia yang sukses jika tidak dilengkapi dengan etika dunia; tidak ada perdamaian antar negara-negara tanpa adanya perdamaian antar agama-agama; tidak ada perdamaian antar agama-agama tanpa adanya dialog antar agama-agama. Keragaman heterogenitas tidak dapat dihindari khususnya di era globalisasi ini, bahkan sudah menjadi suatu yang intens dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu pembinaan agar kehidupan yang kaya dengan keragaman tetap hidup harmonis, toleran dan saling menghargai keragaman budaya, etnik, golongan dan agama. Salah satu solusi untuk menjaga konflik antar suku, budaya, aliran/agama adalah pendidikan multikultural, khususnya yang terjadi di Indonesia yang secara realitas plural Firman, F. 2016. Sulusi masyarakat Multikultural dalam Berbagai Paradigma Paradigma positivistik merupakan paradigma yang menekankan peranan struktur sosial dalam membentuk realitas sosial. Masyarakat multikultural sebagai suatu realitas maka multikultural dibentuk oleh struktur sosial yang dominan dalam masyarakat seperti norma, aturan, masyarakat, lembaga ataupun pemerintah. Pemahaman masyarakat multikultural sebagai suatu keniscayaan dapat diciptakan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang seimbang melalui peranan pemerintah, masyarakat, negara ataupun lembaga pendidikan dalam memberikan kebijakan yang top down. Berbagai pendekatan kebijakan yang dapat dilakukan seperti yang dikemukakan oleh Gloria Boutte 1998 pendidikan multikultural merupakan suatu proses melalui tiga tahap pertumbuhan multikultural yang dapat dilakukan dalam lembaga pendidikan, tahapan-tahapan tersebut memelukan keterlibatan berbagai pihak untuk memberikan pendidikan multikultural kepada setiap siswa. 11 Level of self awareness tingkat kesadaran diri My perspective is right only one Perspektif saya benar hanya satu My perspective is one of many Perspektif saya adalah satu dari sekian banyak My perspective is changing and being enhanced Perspektif saya berubah dan ditingkatkan Emotional response to differences respon emosional terhadap perbedaan fear/rejection/denial/we’re all alike takut / penolakan Interest awareness openness Keterbukaan kesadaran Appreciation/respect/joy/enthusiasm active seeking Apresiasi / respek / sukacita / antusiasme aktif mencari Mode of cultural interaction cara interaksi budaya Isolation avoidance hostility Penghindaran atau isolasi Integration interaction acceptance Integrasi penerimaan interaksi Transforming internalizing rewarding Transformasi internalisasi Approach to teaching pendekatan untuk mengajar Eurocentric/ethnocentric curriculum kurikulum etnosentris Learning abaut other cultures belajar budaya lain Learning from other cultures belajar dari budaya lain Approach to management pendekatan manajemen Monocultural autocratic directive otokratis mengarahkan pada kekuasaan satu budaya Compliance tolerance patuhan terhadap toleransi Collaborative diversity/maximizing potensial Keanekaragaman kolaboratif / memaksimalkan potensi Berdasarkan hal tersebut bahwa pendidikan multicultural harus melalui tahap-tahap perkembangan melalui lima dimensi mulai dari tingkat kesadaran diri, respon emosional terhadap perbedaan, model interaksi budaya, pendekatan pengajaran dan pendekatan manajemen. Semua hal tersebut berkembang sesuai tahapan-tahapan mulai tahap I, II dan tahap III. Paradigm pospostivistik merupakan paradigm yang memandang realitas sebagi bentukan actor-aktor yang memiliki kreatifitas dalam menciptakan suatu realitsa. Masyarakat multicultural sebagai realitas, maka penciptaan tatanan masyarakat yang seimbang dalam melaksanakan kehidupan dalam keragaman dapat dilakukan secara bottom up, berbagai hal yang harus dilakukan oleh berbagai aktor atau individu adalah pemahaman tentang karakter untuk memahami diri, orang lain dan masyarakat sebagai sesuatu yang berbeda maka setiap individu memerlukan karakter dalam diri setiap manusia menurut Lickona 2015 karakter yang baik mencakup pengetahuan moral, perasaaan moral dan tindakan moral. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1. 1 berikut Gambar 1. 1 Karakter yang Baik Pengetahuan Moral 1. Kesadaran moral 2. Pengetahuan nilai moral 3. Penentuan presfektif 4. Pemikiran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan pribadi Tindakan Moral 1. Kompetensi 2. Keinginan 3. Kebiasaan Perasaan Moral 1. Hati nurani 2. Harga diri 3. Empati 4. Mencintai yang baik 5. Kendali diri 6. Kerendahan hati 12 Pardingma kritis merupakan paradigm yang memadang realitas merupakan bentukan sejarah yang terkait dengan politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain, sehingga suatu etnik masyarakat yang berbeda merupakan bentukan sejarah Indonesia yang penuh dengan dominasi sehingga tercipta suatu realitas masyrakat yang beragam, berkelas-kelas, stratifikasi yang tidak sama. Munculnya kelas minoritas, marjinal dan terpinggirkan. Oleh Karena itu diperlukan suatu pemberdayaan suatu ras, suku, budaya, etnik ataupun golongan yang marjinal agar dapat setara dengan budaya, suku, ras, agama atau kelompok dominan yang lain. Berbagai pendekatan yang dapat dilakukan seperti yang dikemukakan oleh James P Bank 2002 pendidikan multicultural dapat dilakukan dengan menggunakan contribution approach pendekatan kontribusi, ethnic additive approach pendekatan aditif etnik transformation approach pendekatan trasformasi, decision making and sosial action approach pendekatan aksi sosial serta pembuatan keputusan. Pertama, contribution approach pendekatan kontribusi dapat dilakukan dengan cara semua elemen budaya masyarakat seperti har-hari besar, hari pahlawan, kebiasaan, ritual, adat istiadat yang berhubungan dengan suatu kelompok etnik dimasukkan dalam kurikulum tanpa mengubah struktur keilmuan, budaya yang digunakan adalah kriteria budaya dominan. Kedua, ethnic additive approach pendekatan aditif etnik dapat dilakukan dengan mengintegrasikan materi etnik dan multicultural dalam kurikulum dengan menambah isi, konsep dan materi pembelajaran tanpa merubah struktur kurikulum keilmuan. Ketiga, transformation approach pendekatan trasformasi dapat dilakukan dengan cara merubah struktur kkurikulum keilmuan agar siswa dapat mengkaji materi dan kondisi masyarakat dari berbagai presfektif kultural agar dapat melihat konsep, isu, tema atau masalah dari berbagai sudut pandang etnis, Keempat, decision making and sosial action approach pendekatan aksi sosial serta pembuatan keputusan dapat dilakukan dengan cara membuat keputusan dan mengambil tindakan berkaitan dengan masalah personal dan sosial kemasyarakatan, agar siswa dapat melakukan kritik sosial dan perubahan sosial serta dan mengajari mereka keterampilan membuat keputusan. Selain itu juga dapat memberikan pengetahuan, keterampilan dan nilai yang dibutuhkan dalam berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok rasa tau etnis yang marjinal dan menjadi korban dapat bangkit dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan Negara untuk menjaga integrasi sosial. Berkaitan dengan hal tersebut dalam konteks masyarakat dan pendidikan Indonesia, pendekatan yang cocok menurut hemat penulis adalah transformation approach dan decision making and sosial action approach meskipun keempat pendekatan tersebut dapat dilakukan secara terintegrasi, namun transformation approach dan decision making and sosial action approach dapat dijadikan acuan desain pendidikan multicultural yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Paradigma postrukturalis merupakan pardigma yang melihat realitas sosial merupakan bentukan wacana, teks, simbol atau bahasa yang saling berkontektasi antara satu dengan yang lain. Proses kontekstasi tersebut melibatkan berbagai pihak seperti individu, komunitas, keluarga, masyarakat, lembaga, pemerintah, Negara bahkan Negara lain. Masyarakat sebagai suatu arena konstekstasi terkait dengan keragaman adalah wacana tentang monokulturalisme dan wacana multikulturalisme. Kedua wacana tersebut berlomba-lomba membentuk realitas. Jika monokulturalisme yang memenangkan kontektasi maka realitas monokulturalisme yang akan terbentuk dalam masyarakat, sebaliknya jika wacana multikulturalisme yang memenangkan 13 kontekstasi maka relaitas multikulturalisme yang akan terbentuk dalam masyarakat. Irhandayaningsih, A. 2012 Konsekuensi dari multikulturalisme adalah sikap menentang dan anti terhadap, atau setidaknya bermasalah dengan, monokulturalisme dan asimilasi yang merupakan norma-norma wajar dari sebuah negara bangsa sejak abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif, sebab yang dituju oleh monokulturalisme adalah homogenitas, sekalipun homogenitas itu masih pada tahap harapan atau wacana dan belum terwujud pre-existing. Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan untuk mewujud menjadi satu kebudayaan baru. Pertentangan antara multikulturalisme dan monokulturalisme tampak nyata sekali dari asumsi dasar yang saling berseberangan, yang satu melegitimasi perbedaan sementara yang lain meminimalisir perbedaan. KESIMPULAN Masyarakat multikultural telah menjadi cri khas bangsa lebih khusus pada masyarakat Indonesia, dan telah diperbincangkan dalam berbagai kegiatan, seminar, forum diskusi maupun dalam lingkungan akademik. Namun demikian terkadang multikulturalisme kurang tepat digunakan, bahkan masyarakat multicultural sering disamakan dengan masyarakat pluralisme, namun menurut hemat penulis kedua memiliki arti dan makna sejarah yang berbeda antara satu dengan yang lain, meskipun keduanya sama-sama berbicara tentang keragaman. Karena memiliki konsep yang berbeda sehingga konsep masyarakat multikulturalisme dan konsep masyarakat pluralisme perlu dikaji lebih dalam lagi agar dapat menemukan kesesuaian dengan konteks masyarakat Indonesia. Lebih jauh lagi untuk mendapatkan desain pengelolaan keragaman yang lebih komprehensif dalam menjaga tatanan masyarakat yang seimbang equilibrium dalam kesatuan Bhineka Tunggal Ika’. Sehingga inti multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memedulikan perbedaan budaya, etnis, gender, bahasa, ataupun agama. Desain masyarakat multikultural dapat dikaji menggunakan paradigma positifistik, pospositivistik, kritis dan postrukturalis sebagai suatu kesatuaan yang integratif. REFERENSI [1] Ahmad, H. A. 2016. Kerjasama Antar Umat Beragama dalam Wujud Kearifan Lokal di Kabupaten Poso. Jurnal Multikultural & Multireligius, 162. [2] Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Erlangga, [3] Balasuriya, T. 1994. Teologi siarah. BPK Gunung Mulia. [4] Bertens, K. 2009. Perspektif etika baru 55 esai tentang masalah aktual. Kanisius. [5] Boutte, G. S., & DeFlorimonte, D. 1998. The complexities of valuing cultural differences without overemphasizing them Taking it to the next level. Equity & Excellence, 313, 58-62. [6] Contemporary Philosophy of Social Science A Multicultural Approach. [7] Efendi, A. 2008 Sekolah sebagai tempat Persemaian Nilai Multikulturalisme. Insania 131, 55-66. [8] Firman, F. 2016. Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam Al Qur’an Kajian terhadap Tafsir Al-Azhar Karya Buya HAMKA. SYAMIL, 42. [9] Garaudy, R. 2000. Mitos dan politik Israel. Gema Insani. [10] Ghazali, A. M. 2017. Teologi Kerukunan Beragama dalam Islam Studi Kasus Kerukunan Beragama di Indonesia. ANALISIS Jurnal Studi Keislaman, 132, 271-292. [11] Gunawan, K., & Rante, Y. 2011. Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 22, 212-224. 14 [12] Gunawan, K., & Rante, Y. 2011. Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia. Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 22, 212-224. [13] Hidayati, M. 2008. Jurang di antara kita tentang keterbatasan manusia dan problema dialog dalam masyarakat multikultur. Kanisius. [14] Huntington, Damuel. P. 2000. Benturan antarperadaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta Qalam. [15] Hasan, A. M. 2016. PRAKTIK MULTIKULTURALISME DI YOGYAKARTA Integrasi dan Akomodasi Mahasiswa Papua Asrama Deiyai Doctoral dissertation, FIS. [16] Hoon, C. Y. 2013. Multicultural citizenship education in Indonesia The case of a Chinese Christian school. Journal of Southeast Asian Studies, 443, 490-510. [17] Helmiati, H. 2013. Dinamika Islam Singapura Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular & Multikultural. TOLERANSI, 52, 87-99. [18] Isnaini, M. Pendidikan Multikultural VS Multikulturalisme. [19] Irhandayaningsih, A. 2012 Kajian filosofis terhadap Multikulturalisme Indonesia.’HUMANIKA 15, 2012 [20] Lickona, T 2015 Education For Charakter mendidik untuk Membentuk Karakter, Bagaimana Sekolah dapat Mengajarkan Sikap Hormat dan Tanggung Jawab. Jakarta Bumi Aksara [21] Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta Gramedia. [22] Mahrus, M., & Muklis, M. 2015. Konsep Multikulturalisme Perspektif Hadits Studi Kitab Bulughul Maram. FENOMENA, 71, 1-16. [23] Mubit, R. 2016. Peran Agama Dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia. Epistemé Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 111, 163-184. [24] Modood, T. 2013. Multiculturalism. John Wiley & Sons, Ltd. [25] Nurdin Hasan 2011 Multikulturalisme menuju pendidikan berbasis multicultural. Banda Aceh Yayasan Anak Bangsa YAB [26] Rakyat, M. P., & MPR, R. 2006. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat tsb.. [27] Siregar, N. O., Bariah, C., & Rahman, A. 2014. Perlindungan terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi [1] Manusia HAM Berat di Korea Utara Menurut Hukum Internasional. Journal of International Law, 21. [28] Sudharto, S. 2012. Multikulturalisme dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan. CIVIS, 21/Januari. [29] Suparlan, P. 2014. Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural. Antropologi Indonesia. [30] Taufani, P., Holillulloh, H., & Adha, M. M. 2013. Sikap Masyarakat Multikultur Terhadap Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Jurnal Kultur Demokrasi, 17. [31] Turangan, D. D. 2011. Tindakan Kejahatan Genosida Dalam Ketentuan Hukum Internasional Dan 32] Wattimena, R. A. A. 2011. Menuju Indonesia Yang Bermakna Analisis tekstual-empiris terhadap pemikiran Charles Taylor tentang politik pengakuan dan multikulturalisme, serta kemungkinan penerapannya di Indonesia. Studia Philosophica et Theologica, 111. Received Multiculturalism is a phrase that refers to people's viewpoints on the world's diversity, as well as cultural policies that promote acceptance of difference. Diversity in life is an unavoidable condition, as proven by the facts mentioned above Indonesia. Hostilities had arisen across almost the whole territory of the Unitary State of the Republic of Indonesia at this time, signifying a range of differences. To attain true peace, a modern-day paradigm of ethnic and religious diversity, with a focus on religious pluralism in Indonesia, must be constructed. Using a descriptive qualitative approach and library research methodology with data collection technique, this study will collect information about books important to core intercultural education principles. Indonesian society has existed from the dawn of time. During this multicultural nation's life, our nation is engaged in a large and long-term undertaking to reestablish the spirit of oneness in diversity. Bhinneka Tunggal Ika isn't just an abstract principle here; it's also a shared respect of togetherness and pluralism. Nationality is more than a combination of bloodshed and residence. The goal of this document format, which is a documentation research technique, is to collect numerous references in the form of books, articles, documents, and other materials related to the fundamental principles of ethnic and religious multiculturalism in Indonesia. Gaining cultural understanding and ethnic literacy does not always imply that attitudes of racism, prejudice, and discrimination are abolished, and this approach undervalues the huge significance of racism. Individuality and group diversity will be stressed in educational practices, which will be vulnerable and culturally sensitive, and will consider all points of view and values to be equal. The popular belief is that the saying "Bhinneka Tunggal Ika" is only a slogan, but variety is a reality. INTRODUCTION Indonesian culture is a unique and diverse culture that is sometimes referred to as multicultural. With so many cultures in Indonesia, the Indonesian state may not be able to effectively combine them all and ensure that each culture forms positive relationships with one another. Basically, Helmiati HelmiatiThis article tries to study about how Muslim minority of Singapore have reconciled Islamic teachings with the unique challenges of their days. As we know, they live in a plural society, secular state, and globalised modern world. There are many challenges. Nevertheless, their experiences show how they practise Islam with relative ease; how they seek to harmonise religious teachings with their unique circumtances succesfully; and how they take care of the Islamic civilization well. Indeed, the external factors, such as the geopolitical situation and practice Islam. However, It shows that Islam remains compatible with any condition, including with the process of modernisation as long as the practice of the religion remains guided by its fundamental principles. Even, in the context of modernisation, Islam plays it’s role as spiritual bodyguard toward the bitterness of development. Further, Muslim Minority of Singapore’s experiences strengthen Gellner’s statement that “Islam is the great exception to secularization”.Rizal MubitMultikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda bisa eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu dan lainnya. Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri lagi. Keragaman Indonesia tidak saja tercermin dari banyaknya pulau yang dipersatukan di bawah satu kekuasaan negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis agama dan budaya. Dalam perspektif sosiologi, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Agama berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu, perilaku yang diperankan oleh individu ataupun kelompok itu akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perbedaan cara pandang agama dapat menimbulkan fanatisme sempit dan penguncian diri terhadap pandangan lain dalam masyarakat. Maka agama memiliki potensi untuk menimbulkan suatu konflik internal maupun eksternal yang akhirnya dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Multiculturalism is an acknowledgment that several different cultures can exist in the same environment and benefit from each other. Indonesia is avery diverse nation is a fact that can’t be denied by anyone. The diversity of Indonesia is not only reflected in the many islands that are united under the authority of the state, but also the diversity of skin color, language, religion and ethnic culture. In the perspective of sociology, religion is seen as a belief system that is embodied in certain social behaviors. Religion deals with human experience, both as individuals and groups. Therefore, the behavior that is played by individuals or groups that would be associated with the belief system of the teachings of their religion. The differences of religious paradigm can lead to narrow fanaticism and exclusivism to another in society. So religion has the potential to cause an internal and external conflicts could be detrimental to the itself. Zakiyuddin BaidhawyPendidikan multikultural bukan hanya berhubungan dengan belajar dan mengajar dengan mempergunakan berbagai perspektif dan bahasa, bahkan juga tentang bagaimana bahasa mengkonstruk pandangan dunia. Ia juga merupakan sistem kritik terhadap kebudayaan dan peradaban pada tingkat komunitas dan individual. Ia juga menyadarkan bahwa sesungguhnya kita menyusun pengetahuan secara tidak netral, tapi berdasarkan pada berbagai pengetahuan kebudayaan. Cara individu mencari informasi dan kebenaran dalam kebudayaan-kebudayaan pun berbeda. Jika sebagian orang mencari sekolah/universitas terbaik; sebagian lain mencari guru terbaik; sebagian lainnya mencari pemikir terbaik. Cara individu belajar juga beragam. Sebagian belajar dari pengalaman; sebagian belajar dari kuliah teoritik; sebagian lain melalui media visual; sebagian memilih kuliah-kuliah profesional; sebagian memilih kelompok-kelompok kecil; dan sebagian lain memilih interaksi berhadapan empat mata. Sebagian analitis, sebagian lainnya sintetis. Sebagian intuitif, yang lain inderawi, dan seterusnya. Jadi, mengajarkan multikulturalisme lebih dari memastikan bahwa peserta didik dalam satu kelas/sekolah berasal dari berbagai latar belakang. Peradaban, bahasa, kultur ilmiah, cara mengetahui, gender dan lain-lain merupakan pertimbangan kompleks bagi pendidikan. Mengajarkan perbedaan mengundang pluralisme dalam cara kita mengetahui dan belajar. Mengajarkan lintas budaya melibatkan interaksi konstan dengan problem gaya mengajar guru dan dengan pandangan dunia siswa dan cara mereka menciptakan makna. Intinya, pendidikan multikultural adalah upaya untuk menangkap dan bahkan menemukan kembali kebudayaan yang MahrusMohamad MuklisAttempting to uncover the basic principles of the subject of multiculturalism with the meaning of the hadith in the book of Bulughul Marom, and their hujjah that can be known for the establishment of their legal. The basic principles concept of multiculturalism contained in the hadist in the book of Bulughul Marom is upholding justice and the rule of law, disputing resolution, realizing of peace and harmony together, the urgent lofty morality and the necessity to respect the human rights, welfare and fostering an attitude of togetherness for the realization of solidarity and social sensitivity. While the hujjah status of hadith about the concept of multiculturalism entities generally have strong hujjah, or having Saheeh status. The majority of them are labeled with Muttafaq 'Alaih, and assessed as Saheeh' hadith for the famous Ulama, such as Imam al-Hakim, Ibn Hibban and al-Turmudzi. Chang Yau HoonThis study investigates how multicultural citizenship education is taught in a Chinese Christian school in Jakarta, where multiculturalism is not a natural experience. Schoolyard ethnographic research was deployed to explore the reality of a double minority’ — Chinese Christians — and how the citizenship of this marginal group is constructed and contested in national, school, and familial discourses. The article argues that it is necessary for schools to actively implement multicultural citizenship education in order to create a new generation of young adults who are empowered, tolerant, active, participatory citizens of Indonesia. As schools are a microcosm of the nation-state, successful multicultural citizenship education can have real societal implications for it has the potential to render the idealism enshrined in the national motto of Unity in Diversity’ a lived reality. Anwar EfendiA nation's reality showing cultural diversity, directed us to grasp multiculturalism principle. In this principle, there's consciousness that nation is not singular, but plural, consist of many different components. Historical realities showing that Indonesian nation stand in midst cultural diversity. We can call Indonesia as most complete plural country in the world, beside America. In America, we know et pluribus unum slogan, resemble with bhineka tunggal ika , literally stand for many but one. Latest condition showed that cultural diversity became source of conflict between nations-components. Multidimensional crisis suffered by Indonesian nation still not ending yet. Therefore, we need explicit and clear action and step to maintain society's attitude to care, respect, and understand cultural diversity values that become fundament of this nation and state. One of its steps is make cultural pluralism as educational strategy at school. Keywords multiculturalism and multiculturalism FirmanQuran is life guidance and there is no doubt about it, it is also as a guidance of all human life problems in this world, including problems of multicultural conflicts which occur in the society. Quran which consists of 30 juz 114 surah has explored humanistic principles and values in the interaction to other humans both of in group and inter group interaction need to be studied in order to solve all problems occurs in the society. Problems of this research are 1 How are main themes of multicultural education values in tafsir Al-Azhar by Buya Hamka? 2 How is the perspective of Buya Hamka towards multicultural education values in tafsir Al-Azhar. This is a library research. Data collection technique is by using documents, the researcher collected and reviewed books, kitab, journals, and other writing materials which are connected to multicultural education and came up with the description. Data of this research was analyzed by using linguistics, sociological, and theological approach. Buya Hamka in interpreting verses about multicultural emphasizes on the concept of unity and similarity. According to Hamka, diversity is a starting points of the conflicts in the life of society. Unity and similarity concept by Buya Hamka can be viewed from two points. They are 1 Unity and similarity of human origins from the same father and mother. 2 Unity and similarity of aqidah to make human becomes brothers and IrhandayaningsihMulticulturalism is both an ideology and a means to create egalitarian and peaceful relationship between cultural groups in Indonesia. But there are some problems found when we analyze its basic assumptions, the principle of egality and recognition of differences. Firstly, a tension happens between one and many’, where multiculturalism ironically will neglect similarities while emphasizing differences among cultural groups. Secondly, conflicts may arise between claims of egality of minorities. If we want to proceed with the multicultural agenda, we need to solve these problems. .
  • n31z49giuy.pages.dev/77
  • n31z49giuy.pages.dev/255
  • n31z49giuy.pages.dev/45
  • n31z49giuy.pages.dev/416
  • n31z49giuy.pages.dev/490
  • n31z49giuy.pages.dev/462
  • n31z49giuy.pages.dev/205
  • n31z49giuy.pages.dev/469
  • makalah kelompok sosial dalam masyarakat multikultural